Purwokertokita.com – Adzan Dzuhur belum berkumandang, puluhan petani berjalan dari kampung Petenangan RT 8 RW 3 Desa Bantarsari Kecamatan Bantarsari Kabupaten Cilacap pada Senin (18/9). Mereka membawa spanduk putih bertuliskan tuntutan. Tujuan mereka adalah sebuah kebun yang berjarak kurang lebih 200 meter dari bangunan belakang Puskesmas Bantarsari. Di ujung kebun, truk-truk berisi bongkahan tanah menurunkan muatan, persis di dekat plang bertuliskan Paket Pekerjaan Pengurukan Halaman Puskesmas Bantarsari.
Sekitar pukul 11 siang, mereka bersama-sama menancapkan spanduk ke dalam tanah. Setelah dibentangkan, nampak jelas tulisan berwarna merah dalam bahasa Banyumas berbunyi: “Lemah Setlapak Ngebeki Telak”. Maksud kalimat itu ialah, lahan garapan yang minim adalah sumber bergantung untuk menjalani hidup.
Puluhan petani asal Bantarsari itu tengah berkumpul menyuarakan tuntutan. Mereka berunjuk rasa untuk mempertahankan lahan garapan. Sebanyak lima petani Bantarsari yang menggarap lahan seluas 80 ubin atau 1.175 Meter persegi terancam kehilangan lahan garapan.
Salah seorang petani, Jaman (50) bercerita bahwa unjuk rasa dilakukan sebagai aksi solidaritas kepada lima petani tersebut. Di Bantarsari sendiri ada 84 hektare tanah bekas perkebunan pohon karet yang sejak tahun 60-an digarap warga. Tahun 2000 tanah tersebut sempat akan diserahterimakan pada petani melalui perjanjian sewa dengan syarat membayar Rp 10 juta per 100 ubin.
“Apa yang dialami teman kami, bisa saja kami alami di kemudian hari. Sempat ada perjanjian sewa, tapi kami minta pertimbangan untuk bisa mencicil ke pemerintah saat itu,” ujar Jaman.
Uang Ganti Rugi Kecil
Jaman bercerita, dengan adanya pengembangan Puskesmas, tawaran uang ganti rugi untuk lahan garapan pernah dilayangkan pihak kecamatan dalam beberapa pertemuan. Sayangnya, harga yang ditawarkan dinilai tak mempertimbangkan kebutuhan hidup petani. Padahal sebelumnya lahan garapan di antara mereka sudah pernah diperuntukkan pembangunan tapi dengan kompensasi antara Rp 200.000 sampai Rp 250.000 per-ubin.
“Justru saat ini kompensasi semakin kecil yakni 6 juta untuk 80 ubin atau kurang dari Rp 100 (ribu, red) per-ubin” kata Jaman.
Pemkab Cilacap dinilai menutup mata oleh para petani. Pasalnya petani sudah merawat lahan tersebut sejak tahun 1960-an. Bahkan kerja keras mereka memproduktifkan lahan yang sebelumnya terbengkalai ditukar dengan kompensasi tak masuk akal.
“Saya orang bodoh. Tapi bisa itung-itungan. Orang tua saya menggarap lahan ini sejak tahun 60-an. Saya hanya ingin nasib kami diperhatikan dan kompensasi jerih payah kami garap lahan. Saya tidak menentang pembangunan pemerintah. Masak Rp 70.000 per-ubin,” kata Nasem (65) salah satu petani penggarap lahan.
Menanggapi hal tersebut, Camat Bantarsari, Budi Narimo mengatakan latar belakang unjuk rasa petani Bantarsari memang disebabkan pengembangan pembangunan Puskesmas Bantarsari dari rawat jalan ke rawat inap. Pengembangan puskesmas membutuhkan lahan seluas 1.175 meter persegi. Pemkab Cilacap pun mengoptimalkan lahan belakang Puskesmas yang berstatus hak pakai atas nama Pemkab Cilacap.
“Saat ini pengembangan itu ada kendala memang. Warga meminta kompensasi karena puluhan tahun sudah menggarap ,” kata Budi Narimo, Senin (18/9).
Kecamatan sendiri telah memfasilitasi petani yang tergabung dalam Paguyuban Tani Sri Rejeki menyampaikan permintaan kompensasi pada pihak pelaksana paket pekerjaan yakni CV Karya Gemilang. Namun kendala susulan terjadi yakni tak ada titik temu karena pelaksana hanya mampu memberi kompensasi Rp 6 juta untuk 80 ubin tanah bagi 5 petani penggarap. Sedang petani menilai kompensasi tersebut terlalu rendah dan meminta Rp 250.000 per-ubin.
“Pihak pelaksana tidak sanggup memenuhi permintaan kompensasi tersebut. Awalnya Rp 6 juta lalu pelaksana menaikkan Rp 8 juta. Petani tetap menolak, dan sampai saat ini memang negoisasi belum juga ada titik temu,” ujar Budi.
Kendala-kendala tersebut diakui Budi bisa berdampak pada paket pengerjaan tahap pertama yakni pengurukan halaman puskesmas Bantarsari. Pelaksanaan pengerjaan semestinya selesai pada 21 Oktober mendatang dengan nilai kontrak paket pekerjaan sebesar Rp 192.703.000. Budi menjelaskan bahwa ia terus berupaya agar masalah ini tak meruncing dikarenakan konflik yang ada di wilayahnya. (aar)