Purwokertokita.com – Sebuah film dengan latar tragedi politik 65 berjudul Luka di Tanah Merah akan tayang perdana Senin, 12 Desember 2016 di Markas CLC Purbalingga. Produksi keroyokan yang melibatkan AJI Kota Purwokerto, Cinema Lovers Community Purbalingga dan Serikat Tani Mandiri Cilacap ini mengisahkan perampasan lahan petani yang sebelumnya dituduh anggota Partai Komunis Indonesia.
“Dari film ini kita bisa belajar sejarah dari pelaku langsung, mereka yang selama ini memperjuangkan tanahnya kembali,” kata Aris Andrianto, Ketua AJI Purwokerto yang tinggal menunggu hari untuk lengser ini, Sabtu (10/12).
Film yang dibesut sutradara kawakan Bowo Leksono ini berkisah tentang sejarah tanah trukah yang belakangan dirampas oleh negara. Tanah trukah merupakan tanah yang dibuka oleh petani pada tahun 1937, saat masih pendudukan Belanda.
Setelah menjadi perkampungan, tanah mereka kemudian dirampas. Mereka terusir dari tanah mereka sendiri. Pengusiran tersebut pun menggunakan dalih dan motif yang sama yakni dituduh menjadi anggota partai terlarang.
Aris mengatakan, melalui film ini AJI Purwokerto hendak meluruskan sejarah yang selama ini telah ditafsirkan serampangan oleh penguasa. Film yang diproduksi berbulan-bulan ini diikhtiarkan untuk menggugat penguasa bahwa pelanggaran HAM masa lalu, tidak hanya meninggalkan luka bagi mereka yang sudah tiada, tapi anak cucu mereka yang kini masih hidup. “Ada pelanggaran HAM masa lalu yang harus diselesaikan bukan hanya sekedar retorika,” katanya menegaskan.
Anggota AJI Purwokerto, kata dia, sudah bertahun-tahun melakukan riset tentang konflik agraria ini. Dengan produksi film ini, kata dia, diharapkan apa yang menjadi hak ribuan petani yang terusir dari tanahnya bisa direbut kembali.
Bowo Leksono, sang sutradara mengatakan, pemutaran film ini dibarengkan dengan peringatan hari HAM Internasional. “Generasi muda harus paham tentang sejarah dan kebenaran. Kebenaran itu bisa ditemukan dengan bertemu langsung dengan saksi-saksinya,” katanya.
Ia mengatakan, setidaknya butuh waktu sekitar lima tahun untuk merekam secara utuh peristiwa 65 di Cilacap. Menurut dia, ada banyak kisah yang bisa didapat di lokasi itu. “Kebanyakan saksi sejarah sudah tua, kalau tidak segera didokumentasikan khawatirnya mereka tiada terlebih dahulu,” ujarnya.
Film yang diproduksi dengan anggaran saweran ini, menurut Ketua Serikat Tani Mandiri, Sugeng Petrus bisa menjadi pelajaran bagi anak cucu kelak. “Meksi saya sudah berulangkali dituduh sebagai antek PKI gaya baru, tapi bukan berarti perjuangan untuk merebut tanah leluhur kami kembali bisa surut,” katanya.
Ia mengatakan, belasan ribu hektare lahan pertanian milik petani yang puluhan tahun dirampas negara harus dikembalikan. “Kami hanya menuntut hak kami kembali, tidak yang lain,” ujarnya.