Purwokertokita.com – Liburan akhir tahun ini tak lengkap kiranya jika pulang nanti tak membawa oleh-oleh Jenang Jaket. Semacam dodol khas Banyumas. Apalagi kalau melintasi jalur selatan Jawa Tengah, singgahlah dulu untuk membeli penganan dengan rasa manis legit ini.
Bagi Sri Monah, 36 tahun, perajin jenang jaket di sentra jenang jaket Kelurahan Mersi Purwokerto Utara Banyumas ini, libur akhir tahun adalah berkah tersendiri. Setiap hari, jam kerjanya harus ditambah agar pesanan jenang yang ia terima bisa diselesaikan.
“Pesanan untuk oleh-oleh meningkat dibanding hari biasa,” kata Monah.
Jenang jaket merupakan salah satu makanan khasa Banyumas selain Getuk Goreng Sokaraja, Keripik Mendoan, dan Nopia. Oleh-oleh ini biasanya dibawa pemudik untuk dibawa ke kota asal untuk dibagikan ke rekan kerja atau tetangga di kota.
Monah mengatakan, pembuatan jenang terus digenjot untuk memenuhi permintaan. “Jam kerjanya mau tak mau ditambah, sampai lembur untuk memenuhi permintaan. Kalau hari biasa kerja mulai pukul 07.00 sampai pukul 16.00, sekarang jam kerja bisa sampai pukul 20.00,” katanya.
Ia menambahkan, saat ini kebutuhan untuk membuat makanan khas dibutuhkan beras ketan sebanyak 5-8 kuintal setiap harinya. Kondisi ini berbeda dibanding hari biasanya.
Namun untuk tahun ini, Monah mengaku produksi jenang jaket agak berbeda dengan tahun sebelumnya dari segi kuantitas. Saat ini, Sri memilih untuk memroduksi jenang sesuai dengan permintaan. “Kalau tahun sebelumnya, bisa jor-joran. Tetapi tahun ini, lebih sesuai permintaan karena kenaikan harga bahan bakar minyak berpengaruh besar terhadap harga bahan baku,” ujarnya.
Bambang Priyadi, perajin lainnya mengatakan jenang jaket produk Mersi biasa dijadikan penganan saat hari raya dan libur panjang. Selain itu, pemudik asal Banyumas yang bekerja di luar kota juga biasanya memesan jenang ini untuk oleh-oleh saat balik ke kotanya.
Istilah jenang jaket sebenarnya tak ada hubungannya dengan pakaian penghangat badan. Jaket sendiri merupakan kependekan dari jenang asli ketan. Bambang mengatakan, jenang ini mulai dibuat masyarakat setempat sekitar tahun 1970-an. Menurut dia, resep pembuatan dodol Banyumas ini diperoleh dari seorang warga keturunan Tionghoa.
Jenang ini berbeda dengan jenang pada umumnya. Jika jenang yang biasa dijadikan penganan saat ada hajatan terlihat polos, berbeda dengan jenang ketan yang biasanya penuh dengan wijen. Rasanya gurih dipadu dengan manis legit. Maklum, selain tepung ketan, bahan lain yang dominan adalah gula merah.
Pembuatan jenang jaket tak jauh berbeda dengan adonan jenang atau dodol pada umumnya. Santan kelapa dicampur gula dan wijen dimasak hingga mengental. Lalu sesudah masak, adonan diiris menjadi potongan kecil dan dibungkus plastik. Jenang ini tahan lama dan murah. Praktis, jenang dari Mersi ini selalu laris manis diserbu turis.
Salimin, 36 tahun, perajin lainnya mengatakan saat ini pesanan jenang meningkat tiga kali lipat dibanding hari biasanya. “Biasanya saya hanya membuat tiga kuintal bahan, saat ini produksinya mencapai satu ton per hari,” katanya.
Ia menyebutkan, harga satu kilogram jenang mencapai Rp 18 ribu. Sedangkan jenang yang dicampur wijen harganya mencapai Rp 20 ribu perkilogram.
Abduh Hoesni, 35 tahun, penduduk Banyumas yang bekerja di Bandung mengatakan, setiap pulang kampung ia selalu pesan lima kilogram jenang jaket. “Dua kilo untuk dimakan saat di Purwokerto, dan sisanya untuk dibawa oleh-oleh untuk rekan kerja,” katanya.