Purwokertokita.com – Ketika sore yang indah menyapa di hati anak-anak generasi ’90-an hingga awal milenium, tayangan kartun di sore hari kerap menjadi pilihan utama menikmati hiburan dalam fantasi dunia anak kala itu. Serial kartun jagoan macam He-Man, Thundercats hingga Silverhawks bagi anak ’90-an menjadi sesuatu fenomenal atau Samurai-X yang ditayangkan awal milenium menjadi tayangan yang kemudian membentuk generasi tersebut.
Kekinian, tayangan kartun dan animasi pun makin marak. Serial kartun, macam Upin Ipin saat ini jadi idola anak-anak di Indonesia kini. Film garapan negeri jiran dengan pesan moral yang kuat ini berhasil merasuk dalam fantasi anak Indonesia. Seperti tak mau kalah, anak bangsa mulai berkreasi dengan karya sendiri.
Tema yang berbeda dengan Upin dan Ipin pun diusung dalam kartun Adit Sopo Jarwo. Namun, apa hendak dikata, serial kebanggaan anak Indonesia ternyata menimbulkan polemik serius. Kegelisahan itu ditulis oleh seorang kawan dari Gorontalo, namanya Syam Terrajana. Ayah dua anak ini mengungkapkan keprihatinannya dengan tayangan Adit Sopo Jarwo.
Kali ini kami sengaja sajikan kegelisahan kawan Syam yang diunggahnya melalui web pribadinya kawansyam.com. Unggahan ini tentunya sudah diizinkan sang penulis, untuk disiarkan melalui Purwokertokita.com. Mari berpikir bersama dan berdiskusi….
Surat Terbuka Buat Bang Jarwo
Bang Jarwo, Assalamualaikum !
Apa kabar? Ah, pasti kabarmu buruk melulu. Kamu kan memang sengaja diciptakan penuh keburukan. Kenapa? Supaya yang baik bisa benar-benar terlihat kinclong. Begitu bukan? Sori. Belum-belum aku sudah nyerang. Habis kamu dan ceritamu bikin gemez sih.
Oya, Pertama-tama perkenalkan; aku adalah orang tua dengan dua anak yang masih bocah. Sama seperti bocah-bocah lainnya dari Sabang sampai Merauke, setiap petang dua bocahku ini ada berada garis depan layar televisi; menyimak ulahmu dalam serial animasi: Adit, Sopo dan Jarwo.
Sengaja kutulis surat ini untukmu. Bukan untuk Sopo, anak buahmu. Sebab Sopo katanya baru saja tahu membaca. Baru lulus paket A. Setara SD. Surat ini juga bukan ditujukan buat Adit, anak pemberani yang kau anggap terus saja menganggumu itu. Lagian, Adit terlalu kecil untuk memahami isi surat terbuka ini.
Aku tulis surat ini dengan penuh kegemasan. Buatmu, bang Jarwo. Juga buat seluruh tim kreatif, produser dan stasiun televisi MNC yang ulang-ulang menayangkanmu .
Sejak animasimu rilis di layar tivi, Januari 2014 silam. Kami, orang tua di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia menyambut baik dan ikut memberi selamat; akhirnya ada juga animasi untuk anak-anak karya putera – putri ibu pertiwi yang bisa ditonton anak-anak kami.
Kalau boleh sedikit lebay, kehadiranmu ibarat oase di tengah padang tandus. Sekian lama anak-anak kami tak mendapat tempat yang layak di layar televisi. Satu kali 24 jam tayangan televisi nyaris adalah segmen milik orang dewasa. Kalaupun ada animasi, pasti itu impor. Negeri begini kayanya, kok apa -apa musti impor: mulai beras, hingga film animasi. Terlalu!
Tapi kebahagiaan itu ternyata instan, Bang Jarwo. Lama-lama ceritamu kian monoton. Anak tertuaku, yang masih kelas dua SD, suatu malam bertanya padaku,” Pa, Bang Jarwo dan Bang Sopo itu punya rumah ndak? Kok ndak pernah diperlihatkan rumahnya,”.
Anakku, Bang Jarwo, dia jatuh kasihan sama kamu yang terkesan homeless.
Dimana rumahmu Bang Jarwo? Ngontrakkah? di kolong jembatan? Atau jangan -jangan, kamu dan bang Sopo hidup serumah dengan pak Haji Udin, Bapak ketua RW yang tiba-tiba (selalu) nongol setiap kali kamu berbuat curang itu?.
Kamu, yang pengangguran itu. Kau yang diciptakan sebagai orang culas, tukang pandang enteng, pencuri kesempatan dalam kesempitan. Sepertinya kau memang sengaja diciptakan untuk jadi bulan-bulanan pak Haji Udin. Dia selalu hadir menasehatimu, mengerjaimu; membully kamu habis-habisan?
Seolah -olah hanya kamu manusia tercurang di kampung imajiner itu, di dunia fantasi yang ditelurkan dari imajinasi pengarangmu?
Pak Haji yang mirip Dedy Mizwar itu, kok ya benar-benar selo. Tra punya kerjaan lainkah dia? Tanpa tedeng aling-aling dia selalu datang menasehatimu. Bahkan sebelum kamu memberikan klarifikasi, hak jawab. Ini nggak fair bang Jarwo, ini nggak fair!
Emangnya, kau berbuat dosa apa pada pak Haji . Dia terlihat nafsu sekali menasehatimu.
Jangan-jangan,
Dia terobsesi denganmu, lalu terus menguntitmu ya?
Bang Jarwo, Kamu kok mirip Sutan Bhatoegana?
Kasihanlah paman Bhatoegana itu. Sudah dicokok KPK lantaran terima suap, dijebloskan sepuluh tahun ke penjara, bayar denda 500 juta, Eh, masih juga dibully dalam bentuk animasi untuk anak-anak. Bah! Itukah yang namanya edukasi?
Bang Jarwo, tolong bilang sama sutradaramu, penulis ide ceritamu, jangan gitu lah. Betul, Paman Bhatoegana memang bersalah. Tapi tak usah ditimpa tangga, ditimpuk batu lagi. Sekomik-komiknya wajah paman kita itu, toch beliau juga punya anak istri, punya keluarga besar, handai taulan yang belum tentu ikut menanggung kesalahan.
Belum cukupkah wajah paman Bhatoegana dijadikan berbagai meme kocak yang dengan mudah berpindah dan dibagikan dari satu gadget ke gadget lain?
Oya, katanya serial animasimu mendapat penghargaan di Anugerah Peduli Pendidikan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ya?.
“Mungkin kami dipilih karena cerita yang dikemas sangat sederhana dan mudah diterima oleh masyarakat dan bisa mendorong masyarakat supaya mau belajar tentang segala macam aspek kehidupan seperti tata krama, hubungan masyarakat satu dengan yang lain, dan peduli dengan lingkungan sekitar,” begitu kata Sang Nyoman Suwisma, Direktur MNC TV, usai menerima penghargaan di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,Senayan, Jakarta, pertengahan Desember 2015 lalu.
Bang Jarwo, mungkin kau menang dapat penghargaan karena tak ada saingan saja. Aku percaya itu. Kualitas ceritamu sebenarnya tidak sederhana. Tapi hitam putih. Sayang sekali, padahal kualitas animasimu sudah berwarna dan oke punya. Kenapa dunia yang diangkat pada ceritamu hanyalah melulu soal salah – benar? Dan kau Bang Jarwo, adalah melulu si biang salah itu. Nyaris semua kesalahan berputar-putar pada dirimu, seakan akan buruk kelakuanmu itu tak akan pernah berubah.
Anakku saja sudah bisa menilainya kok, katanya “Kasihan Bang Jarwo, dimarahin terus sama pak Haji” katanya . Ya, aku memang tidak mengajarkan anakku untuk memandang dunia ini serba hitam putih. Bahwa setiap orang suatu saat bisa saja berubah. Yang baik bisa berpeluang menjadi buruk. Begitupun sebaliknya. Aku dan istriku berharap, kelak dia akan berlaku baik bagi sesama. Jika dia berbuat salah, semoga dia bisa menemukan mutiara kebenaran dalam kesalahan itu.
Bos Jarwo, apa kabar si Sopo?
Anak buahmu yang setia itu, Masih bodoh dan lalod jugakah? Masak sudah puluhan episode ini, tak ada kemajuannnya berarti? Ada aku baca di berita onlain, kang Armand Maulana, vokalis band Jiji (Gigi) itu bilang jika Adit Sopo Jarwo ini “sukses sebagai serial animasi yang mencapture kehidupan masyarakat Indonesia, “ Kata kang Armand lagi, yang juga mengisi sountrack Adit Sopo Jarwo, bahan animasi ini “dibalut oleh kreativitas animasi anak bangsa dengan bagus, jenius, manis yang akhirnya diterima dan tidak lebay ceritanya,”
Ah, aku kira ini berlebihan. Barangkali benar, jika animasi Adit Sopo Jarwo ini merupakan reprentasi kondisi sosial masyarakat Indonesia. Karaktermu yang culas dan korup, mungkin merepresentasikan perilaku korup yang tak pernah ada habisnya di negeri ini. Yang korup malah senyum dadah- dadah di depan kamera, saat dicokok KPK.
Aku pun tak setuju dengan Kang Armand, yang bilang ceritamu jenius. Apanya yang jenius?
Coba lihat itu si Sopo. Tak diberi kesempatan untuk mampu dan berkembang. Lihat itu si Dennis, bocah tambun kribo yang selalu ketakutan dan ndak PeDean. Dennis yang selalu menjadi “korban” hipnotis si Adit, yang selalu menyuruhnya membayangkan jadi sesuatu setiap kali merasa ketakutan.
Aku kok, merasa ada stigma di sana. Aku kira bukan kebetulan jika dua tokoh ini diberi porsi badan yang tambun. Apakah itu maksudnya untuk menguatkan karakter bahwa orang (gendut itu) lambat penangkapan, penakut,tukang makan ? Kasihan sekali jika ada anak di dunia nyata yang kebetulan mirip secara fisik dengan Dennis. Ya Allah, jangan sampai dia kena korban bully teman-temannya. Lagi pula, bukankah kreatifitas, keberanian dan segala macam kecerdasan tak pernah benar-benar tergantung pada berat badan?
Aku punya kawan sekaligus guru jurnalisme yang hebat. Dandhy Dwi Laksono namanya. Badannya bongsor. Tapi jangan ditanya soal prestasi, kegigihan dan kredibilitasnya. Dengan biaya sendiri, menunggang sepeda motor bekas, Dandhy dan kawannya, Ucok Suparta Arz, berkelana mengelilingi penjuru nusantara dalam . Bukan untuk bersenang-senang, Bang Jarwo, tapi untuk melihat dan menceritakan banyak hal tentang kekayaan dan ketimpangan di negeri ini, yang jarang pernah diulas mendalam oleh media-media maisntream. dokumentasi perjalanan yang diberi tajuk Ekspedisi Indonesia Biru ini diunggah dan disebarkan cuma-cuma via kanal youtube.
Atau, Bang Jarwo kenal mendiang Slamet Gundono ndak? Beliau ini adalah seorang dalang tersohor yang menghidupkan kembali tradisi wayang suket (rumput). Badannya jauh lebih besar dan tambun. Tapi ide-idenya cemerlang. Di tangannya, wayang suket akan bercerita mengenai berbagai ceruk kehidupan. Dengan segala kritik di dalamnya. Semasa hidupnya, beliau telah melanglang buana ke berbagai benua dengan wayang suketnya.
Tunggu dulu, jangan dulu nuduh bahwa aku sedang menyebarkan hate of speech ya. Aku kira, bukan aku saja orang tua yang galau dengan tayangan Adit Sopo Jarwo. Surat ini aku tulis agar semata-mata tim kreatif di balik ceritamu ini bisa benar benar kreatif.
Jangan pula kau nyinyir. Jangan sarankan aku untuk mengganti channel – jika memang tak suka ceritamu- di tivi. Sebagai orang tua, aku punya hak untuk mengkritik tayanganmu. Ingatlah, Bang Jarwo, serial animasimu dipancarkan dengan menggunakan frekuensi publik. Frekuensi yang menurut UUD 45 digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan hajat hidup orang banyak. Adalah hak kami untuk meminta tayangan televisi bermutu. Kalau tak sanggup memberi kami tontonan cerdas, mending out dari layar televisi kami!
Sori , saya malah jadi berapi-api. Sama berapi-apinya dengan Bang Jarwo, ketika naksir berat personil Cherybelle dan dik Ling-ling. Saranku, kalau sedang jatuh cinta, tak perlulah diumbar. Sampai-sampai seluruh anak-anak di negeri ini hapal lagu pujaanmu kepada dik Ling-ling. Mungkin maksud tim kreatifmu, semata untuk melucu. Tapi percayalah. Bahan lucuan itu sama sekali tak cerdas.
Bukankah masih ada konsep yang lebih luas untuk memperkenalkan cinta dan kasih sayang kepada anak-anak?
Aku tak ingin anak-anakku “jadi pintar pacaran dan ciuman” sejak dini. Seperti kata kawanku, Roy Chaniago. Aktivis Remotivi yang gencar mengampanyekan “nyalakan televisimu, hidupkan pikiranmu”
O ya, anakku juga jengkel setiap kali ada sisipan iklan dalam ceritamu. Ya iklan multivitamin, sabun anti kuman dan segala macam produk bersegmen anak-anak. “ iiiih,apppaaa ini! ” begitu komentarnya, bang Jarwo. Ayolah, beri anak-anak kami cerita yang lebih bermutu. Cerita yang tak disusupi iklan komersial apapun . Masih tak cukupkah ikeuntungan yang direguk dari iklan panjang di setiap jeda tayanganmu itu? Kapitalis sih kapitalis, tapi adooo, nyanda usah jadi kapitalis lebay!
Bang Jarwo, Jangan pandang rendah selera kami. Kami orang tua, butuh tayangan yang jauh lebih bermutu dan mendidik. Tolong bilang sama tim kreatifmu dan produsermu, ada banyak sekali di negeri ini yang lebih bernilai untuk diangkat dan diasup anak -anak Indonesia. Sebrutal-brutalnya negeri ini, punya banyak stok orang muda kreatif yang pasti punya banyak ide cerita .
Coba main ke pedalaman Banten sana. Tepatnya di Ciseel, Lebak. Di sana ada Pak Guru Ubai, lengkapnya Ubaidilah Muchtar. dia adalah pendiri taman bacaan Multatuli. Coba tanya bagaimana gigihnya dia mengajarkan anak-anak kampung itu akan nilai nilai keadilan dan anti penindasan yang terkandung dalam cerita Max Havelaar, karya Multatuli.
Atau coba Bang Jarwo sekali-kali touring ke di Desa Sesela, Lombok Barat. Di sana ada sepasang kawan keren , Abdul Latif Pariaman dan Fitri Pikong, mereka adalah pasangan seniman dan jurnalis yang mendirikan Sekolah Pedalangan Wayang Sasak. Sekolah ini untuk menjawab kegelisahan akan mulai punahnya dalang wayang sasak. Bang Jarwo, mereka melatih anak-anak untuk jadi dalang lho!
Mau yang lebih dekat dari Jakarta? Coba main ke Bekasi. di sana ada bang Ane Matahari, yang melatih anak-anak jalanan untuk bermusikalisasi puisi lewat Komunitas Sastra Kali Malang yang termashur itu. Aku yakin, kamu akan punya banyak ide cerita dari berbagai sumber kreatif itu.
Sekali lagi Bang Jarwo, sayang sekali jika film animasimu yang konon memakan ongkos produksi mahal itu malah menyajikan kisah-kisah standar yang miskin eksplorasi dan nilai. Tolong bilangin itu pada semuanya ya.
Sampaikan juga salam prihatinku buat produsermu, Tuan Punjabi
Wassalam,
Syam Terrajana bersama keluarga
Gorontalo-Indonesia