Purwokertokita.com – Jagad sastra Indonesia tahun 2016 kembali digairahkan kehadiran karya novel yang lahir dari generasi baru karya novelis muda, Akasa Dwipa. Novel berjudul “Rima Rima Tiga Jiwa” ditulis dengan mengangkat pengalaman penulisnya selama 15 tahun hidup di jalanan Kota Solo.
Dalam bedah novel yang digelar Teater Teksas Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman di kampus Karangwangkal, Purwokerto, Akasa menuturkan kisah yang diamatinya langsung dari dekat.
“Dalam menulis karya ini, saya mempertaruhkan kejujuran. Karena dalam novel ini mengangkat kisah tentang dunia yang sama sekali berbeda dari yang umumnya diketahui masyarakat luas,” kata novelis kelahiran Batang, Jawa Tengah yang pernah mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jawa Tengah di tahun 2011 silam.
Selama belasan tahun hidup di jalanan kota Solo, Akasa memotret kisah kehidupan kaum marjinal yang selama ini jarang diekspos dalam karya novel. Dalam Rima-Rima Tiga Jiwa, ia mengangkat tentang tiga kisah hidup aktor yang memiliki pribadi berbeda.
“Tema LGBT dalam kehidupan kaum marjinal yang direpresentasikan pemuda yang bercita-cita menjadi penulis, pelacur jalanan dan waria menjadi potret yang diangkat dalam novel ini dan itu merupakan hasil proses alami sehingga ini disampaikan dengan hati,” jelasnya.
Akasa mengemukakan, kali pertama menjejakkan kaki di Solo, ia merasakan sesuatu yang berbeda dari tempat tinggalnya di kampung. “Saya merasakannya dari batin, saat masuk ke Solo, bahkan sudah terlihat pohon yang berada di pinggir jalan sudah terasa berbeda,” jelasnya.
Diakuinya, dalam proses penulisannya membutuhkan konsentrasi yang cukup tinggi karena harus menyelami tiga jiwa. Apalagi, jelasnya, selama ini banyak orang yang tidak mengetahui sisi kehidupan jalanan, sehingga tak heran jika kebanyakan orang hanya bisa menilai saja.
“Selama ini, masyarakat umum seperti kita, hanya bisa menilai tetapi tidak bisa melihat apa yang terjadi sebenarnya,” ujarnya.
Novel terbitan Literasi Press Yogyakarta yang mengangkat tentang kehidupan kaum homoseks, pelacur, dan orang-orang jalanan ini menggugah cara pandang pembaca yang selama ini kerap hanya bisa menilai secara moralis. Pun secara umum, tak pernah menyelami kehidupan marjinal yang mengalami kekerasan struktural, kultural hingga fisik.
Editor Novel Rima-Rima Tiga Jiwa, Dwicipta mengakui riset yang dilakukan Akasa Dwipa sangat mendalam. Belasan tahun hidup di jalanan, bergaul dengan pelacur dan waria. “Bahkan, beberapa kali saya diajak ke lokalisasi dan waria mangkal. Sebenarnya, saya sendiri tidak kenal dunia itu. Dan ini yang menjadi sangat penting untuk disampaikan kepada pembaca sastra,” ujarnya.
Akasa bagi Dwicipta sendiri bukanlah orang baru. Hingga suatu saat, mereka berdiskusi untuk mengangkat tema tentang kehidupan yang belum diungkap dan diangkat dalam karya sastra. “Sebenarnya novel ini selesai Tahun 2013, namun sampai di tangan saya Tahun 2015,” jelasnya.
Penerbitan
Sebelum sampai di tangan editor, diakui Dwicipta, karya ini sempat dikirim ke Gramedia. Namun, setelah dibaca oleh Dwicipta, karya tersebut membuatnya tertarik karena mengangkat masyarakat pinggiran, sehingga membuatnya untuk intens dalam penerbitannya.
“Kami berpikir, kalau menunggu percetakan besar akan butuh waktu lama. Saya mengusulkan agar novel ini diterbitkan sendiri melalui percetakan yang kami punya. Saya juga usulkan agar ditarik dari Gramedia dan saya akan jadi editor,” ucapnya.
Menurutnya, untuk mengedit karya sastra yang ditulis Akasa butuh beberapa metode yang selama ini jarang dilakukan dalam prosesnya.
“Saya sendiri tidak tahu ketika mengawalinya sebagai editor akan mengedit sampai mana? Apakah hanya mengedit isi atau typo saja. Ataukan menjadi partner bagi seorang penulis untuk menyusun bersama-sama editor,” jelasnya.
Pilihan yang diambil Dwicipta kemudian menetapkannya untuk menjadi partner bagi penulis. Pembicaraan panjang mengenai novel ini dimintanya kepada sang penulis buku.
“Secara pribadi, ketika sampai di tangan saya, rasanya novel ini sudah selesai. Hanya ada beberapa kesalahan tulis, dan juga sedikit kesalahan logika yang tidak terlalu besar,” ucapnya.
Diakuinya, dalam kerja editor tidak bisa berdiri sendiri. Butuh beberapa pembaca yang bisa merekomendasikan karya tersebut agar nantinya bisa tersampaikan kepada pembaca umum.
Menurut Dwicipta, tawaran kasih sayang dan ditulis dalam novel tersebut menjadi solusi yang abstrak dalam persoalan structural masyarakat pinggiran. Meski begitu, ia mengemukakan bahwa sejatinya novel ini belum selesai.
“Ini sebenarnya adalah satu dari trilogi novel Akasa, karena sejatinya novel ini belum selesai. Namun, bisa dibaca secara terpisah dan juga bisa dibaca dalam satu rangkaian bersama-sama,” ucapnya.