Mendedah “Kata Tak Lagi Terkurung” di Purbalingga

Komunitas127 Dilihat
Salah satu peserta Kelas Menulis Purbalinga membacakan puisi dalam gelaran Panggung Sajak di Panggung Outdoor GOR Mahesa Jenar Purbalingga, Sabtu (13/12). (Istimewa/Purwokertokita.com)
Salah satu peserta Kelas Menulis Purbalinga membacakan puisi dalam gelaran Panggung Sajak di Panggung Outdoor GOR Mahesa Jenar Purbalingga, Sabtu (13/12).
(Istimewa/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Satu persatu puisi dan happening art berganti menghias malam minggu yang diselimuti gerimis di Panggung Outdoor GOR Mahesa Jenar, Purbalingga. Kata demi kata mengalir dibawah alunan nada buliran air, pun gestur para pembaca puisi seolah menyiratkan tak ingin takluk dalam kuasa jutaan titik air dari langit.

Sabtu (12/12) malam itu, puisi, penulis serta pembacanya berkumpul dan melakukan apresiasi di gelaran program panggung sajak bertema “Kata Tak Lagi Terkurung”. Penampilan malam itu diisi angkatan V Kelas Menulis Purbalingga, Gustav Triono (guru SMP 1 Mrebet dan penyair), Agus Sukoco (Jamaah Maiyah Purbalingga), Ryan Rachman (penyair cum wartawan), Murni (guru SMA Muhammadiyah 1 Purbalingga) dan siswanya, M Iskandar serta Teater Si Anak Fisip Unsoed Purwokerto.

Kebanyakan dari mereka, membaca puisi yang dibuat sendiri. Berbagai ragam pengalaman diangkat dalam berbagai tema. Mulai kebakaran hutan, korupsi, pendidikan hingga jerat industri bulu mata dan rambut palsu di Purbalingga. “Berada di acara ini membuat saya merasa tidak ada di Indonesia,” kata Agus Sukoco sesaat sebelum membaca puisi bertajuk “Persetubuhan Kata”.

Agus mengatakan butuh ruang ekspresi seperti yang diinisiasi Kelas Menulis Purbalingga. Ia berharap ajang semacam ini bisa diagendakan rutin. Senada dengan Agus, Gustav berharap ruang apresiasi seni sastra harus terus digiatkan karena sangat baik bagi perkembangan seni di Purbalingga. “Setelah membaca puisi, masuk angin saya menjadi hilang,” kata Gustav yang membacakan tiga puisi.

Menurut pengampu Kelas Puisi di Kelas Menulis Purbalingga, ajang apresiasi sastra panggung sangat langka di Kota Perwira. Sayangnya, agenda sepert ini juga belum dapat respon dari masyarakat kebanyakan. “Mungkin orang Purbalingga memang kurang piknik. Panggung sajak kan bisa untuk refreshing,” katanya.

Tak hanya Gustav, Murni juga memiliki keresahan yang sama. Meski begitu, ia mengaku siap bekerjasama dengan pegiat sastra bila ingin berkolaborasi dengan siswa SMA Muhammadiyah 1 Purbalingga.

Selain mengapresiasi Panggung Sajak, pegiat teater asal Purwokerto, M Iskandar menilai seharusnya sastra di Purbalingga bisa berkembang pesat. “Banyak hal yang menarik di sekitar masyarakat Purbalingga, salah satunya seputar dunia kerja di pabrik,” katanya.

Manajer Kelas Menulis Purbalingga, Putri Antika menyebut, program panggung sajak sebenarnya ditujukan menjadi ruang aktualisasi anggota kelas dan memeriahkan hari jadi Purbalingga. “Semoga ini bisa menjadi wadah untuk kaum muda mengapresasi puisi,” tuturnya.

BW Widagdo

Tinggalkan Balasan