Menilik Kebiasaan Memandikan Patung Dewa Jelang Imlek

Ragam170 Dilihat
Umat di Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Boen Tek Bio Banyumas membersihkan tempat ibadah hingga memandikan patung para dewa atau “rupang”. (NS/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Di Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Boen Tek Bio Banyumas, puluhan umat dan simpatisan berkumpul di Aula Serbaguna, Selasa pagi (29/1). Kebiasaan ini dilakukan menjelang perayaan Tahun Baru Imlek, mereka membersihkan tempat ibadah hingga memandikan patung para dewa atau “rupang”.

Beberapa orang mengalirkan air dari Sumur Keramat melalui selang ke bak berukuran sedang. Kemudian dicampur dengan air kayu cendana dan kembang “telon” (kenanga, mawar merah dan putih). Air itu nantinya digunakan untuk mencuci patung para dewa.

Sementara di bagian lain, perempuan juga terlihat membersihkan sisa bakaran dupa dan bokor wadah dupa atau hio lo. Abu sisa dupa disaring, bagian paling halus dikembalikan ke tempat asalnya. Sementara yang kasar, dilarung di Sungai Serayu.

Humas TITD Boen Tek Bio, Sobita Nanda mengatakan, umat yang boleh ikut menjamas harus yang vegetarian dan untuk perempuan tidak boleh dalam waktu berhalangan atau menstruasi.

Sobita menceritakan, dalam kepercayaan Konghucu, para dewa naik ke langit beberapa hari sebelum Tahun Baru Imlek. Mereka melaporkan perbuatan manusia kepada Thian (Tuhan).

“Satu hari sebelum membersihkan tempat ibadah, umat mengantarkan mereka melalui sembahyang ‘Siang An’,” tuturnya.

Menurut Sobita, tata urutan yang harus dijalani pada saat membersihkan altar yaitu, pertama, Thian (Tuhan Yang Maha Esa), lalu secara berturutan Thi Mu Niong Niong (penguasa bumi setempat), Tjin Siok Po dan Oet Ti Kiong (dua Dewa Penjaga Pintu), Ho Tek Tjeng Sin (nabi khong co), Bu Sen (Dewa Macan), Lung Sen (Dewa Naga), Lok Sik Kung (Dewa Kebahagiaan), Siu Sing Kun (Dewa Panjang Umur), hingga di ruangan dalam altar patung Budha Pengobatan, Yao Shi Fuk Dewa Bi Lek Hud dan keris Mbah Kuntjung yang berada di utara Klenteng.

Saat menjamasi Kim Sin, umat membawa handuk yang masih baru. Penganut Tionghoa percaya bahwa handuk yang dipakai untuk mengelap patung bertuah.

“Handuk itu dibawa pulang, sering dipakai untuk mengompres anak yang sakit dan disimpan sebagai pembawa rejeki,” ucap Sobita.

Sobita menambahkan, pekerjaan ini bisa dilakukan dalam waktu satu sampai tiga hari sebagai wujud bakti kepada para Dewa. Setelah tempat ibadah, umat juga membersihkan kediamannya sendiri.

“Khusus untuk tiga keris Mbah Kuntjung dimandikan secara terpisah dengan patung dewa. Petugasnya pun tak sembarang orang,” tambahnya.

Sobita menuturkan, hanya juru kunci kedua, Edi Sumarno yang boleh bertugas menjamas pusaka itu. Tiga keris tersebut terdiri dari Keris Brojol yang melambangkan kelahiran manusia, keris Sapu Jagat yang berarti membersihkan diri dari hal-hal buruk, dan terakhir Cempana Carita yang berarti pembawa ketenangan. Ketiganya dimandikan oleh Marno pada urutan terakhir setelah para Dewa.

Kebiasaan ini menjadi keunikan tersendiri dari Klenteng Boen Tek Bio. Ada pertalian yang kuat antara budaya Jawa dan Tionghoa dalam wujud keris.

“Setiap peribadatan umat juga dibolehkan melakukan penghormatan terhadap Mbah Kuntjung, penjaga tempat ibadah ini,” ujar Sobita. (NS/YS)

Tinggalkan Balasan