Purwokertokita.com – Akhir pekan ini kamu ke mana? Kalau belum ada agenda, yuks datang di acara Karangjati Gumregah 2015. Acara yang digelar anak soleh dan solekhah dari Banjarnegara ini, pasti bakal seru dan sayang untuk dilewatkan.
“Acara ini merupakan ikhtiar kami untuk nguri-uri kebudayaan Banyumasan khususnya yang ada di Banjarnegara,” kata Kristiono Hadi, Manajer Humas Gumregah Karangjati kepada Purwokertokita.com, Selasa (20/10).
Ia mengatakan, acara akan mulai digelar pada Kamis 22 Oktober 2015 hingga Minggu 25 Oktober 2015. Acara akan dibuka dengan pengajian, istigosah dan santunan anak yatim.
Kris melanjutkan, pada hari berikutnya akan ada festival 1000 takir dan makan takir bersama. Takir merupakan nasi bungkus khas Banyumasan berisi nasi dan lauk pauk. Sepertinya gratis.
Dan ini yang sayang untuk dilewatkan, kata Kris melanjutkan. Yakni acara motret bareng ritual Ujungan bersama komunitas foto se-Banyumas Raya. “Pokoknya rugi deh kalau melewatkan acara ini,” katanya.
Bagi yang belum tahu apa itu ritual Ujungan, simak tulisan di bawah ini.
Matahari begitu terik di lapangan Desa Gumelem Wetan Kecamatan Susukan Banjarnegara, Jumat (28/9). Ratusan penduduk desa tampak mulai berdatangan ke tempat itu. Debu pun beterbangan terhempas ayunan kaki penduduk. Siang itu, mereka hendak menyaksikan ritual tahunan saat hujan tak kunjung turun. “Ritual ini memang harus dilakukan saat Jumat Kliwon, kalau tidak bisa berbahaya,” kata Nasrowi, 71 tahun, dukun sekaligus pawang ritual sabet rotan atau masyarakat setempat menyebutnya ujungan.
Satu demi satu peserta ujungan maju ke tengah gelanggang. Tanpa menggunakan pengaman memadai mereka siap bertempur dengan penduduk lainnya. Salah satunya adalah Saryono, 38 tahun.
Sekuat tenaga, ia menebaskan batang rotan yang ada ditangannya. Hup…ia meleset. Tak sampai 10 detik, justru kakinya sendiri yang kena sabetan rotan lawan. Sebelum membalasnya, wasit sudah memisahkan keduanya. “Lumayan sakit, biasanya tidak bisa berjalan tiga hari,” ujarnya enteng.
Nasrowi mengatakan, ritual itu sudah ada sejak tahun 1830 dan terpelihara hingga saat ini. Ia menceritakan, dulunya di desa itu penduduknya selalu berperang saat kemarau datang. “Penyebabnya, mereka rebutan air yang susah didapat saat musim kemarau,” katanya.
Akibat perang tersebut, korban jiwa sering terjadi. Untuk mencegah terjadinya korban lebih banyak, acara ritual ini digelar. Dalam ritual tersebut, penduduk desa disediakan arena untuk saling bertempur menggunakan sebilah rotan yang panjangnya sekitar satu meter.
Dulu, kata dia, petarung diperbolehkan memukul seluruh bagian tubuh. Tak jarang, petarung meninggal ditempat karena sabetan rotan mengenai bagian tubuh yang rawan seperti kepala.
Sujadi, 67 tahun, mengaku pernah ikut bertarung hingga lawannya tewas ditempat. “Tetapi karena ini tradisi, tidak ada dendam setelah itu,” ujarnya.
Ia mengatakan, petarung Ujungan bukan orang biasa. Sebelum melakukan pertarungan, mereka diwajibkan untuk melakukan puasa mutih. Puasa ini, petarung dilarang makan garam dan bahan makanan lain yang berasa.
Sebelum dimulai ritual, tetua ada sudah memberikan pengumuman sehingga petarung bisa mempersiapkan diri. Jika tak siap, kaki bisa patah seketika.
Kepala Desa Gumelem Wetan, Budi Sulistyo mengatakan, Ujungan hanya dilakukan saat kemarau panjang. “Kalau dirasa kemarau akan panjang, kami menggelar ritual ini” katanya.
Ia menambahkan, menurut kepercayaan masyarakat, hujan akan turun jika ada salah satu petarung yang mengucurkan darah ke tanah. Darah tersebut merupakan penanda adanya pengorbanan warga terhadap Tuhan. Ritual sendiri hanya digelar setiap hari Jumat tiap minggunya hingga turun hujan. “Biasanya, setelah ada Ujungan hujan akan benar-benar turun,” kata dia menambahkan.
Muharjo, 51 tahun, wasit pertarungan Ujungan mengatakan, petarung diberi pelindung berupa pelindung kepala dan sarung tangan. Sementara satu tangan lainnya memegang rotan untuk memukul lawan. “Petarung sendiri memilih lawannya, jika lawan tidak berani akan dicarikan lawan yang lain,” katanya.
Sejak tahun 1980-an, kata dia, petarung tidak diperbolehkan memukul di atas bagian kaki. Tugas wasit sendiri, kata dia, memisahkan petarung jika kedua petarung sudah terbawa emosi dan tidak mengindahkan peraturan. Mereka akan dikeluarkan dari arena dan tidak diperbolehkan mengikuti pertarungan. Selain itu, kedua petarung tidak diperbolehkan saling mengenal satu sama lain.
Saat rotan lawan terjatuh, petarung lainnya juga tidak diperbolehkan memukul. Rotan juga akan ditukar agar petarung sama-sama merasakan berat tidaknya rotan lawan.
Aris Andrianto