Purwokertokita.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggelar riset tentang kondisi ketenagakerjaan jurnalis berstatus karyawan tidak tetap (kontributor/koresponden/stringer) di 8 kota Indonesia. Ada 90 responden di seluruh kota yang tersebar terdiri atas media online (27 %), media cetak (14 %), media TV (52 %), radio (4%) dan sisanya 3 % tak mengisi dengan jelas jenis media tempat mereka bekerja. Hasil riset memerlihatkan bagaimana ketimpangan antara tingkat penghasilan para jurnalis berstatus kontributor dibandingkan tingkat pengeluaran.
Paparan hasil riset disampaikan saat diskusi Media Berguguran, Masa Depan Jurnalis di Era Konvergensi Media sebagai salah satu rangkaian acara Festival Media 2015 di Unika Atma Jaya, Sabtu (14/11/2015). Hadir sebagai pembicara Abdul Manan Ketua Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen dan Yudie Thirzano Koordinator Divisi Ketenagakerjaan AJI Indonesia.
Hasil riset AJI menemukan adanya kesenjangan yang cukup lebar antara biaya hidup, biaya operasional tugas kontributor di sejumlah daerah dibandingkan penghasilan mereka. Lebih dari separuh responden (59 persen) menjawab biaya hidup dan biaya operasional mereka mencapai Rp2,5 juta hingga Rp 5 juta per bulan. Sebanyak 10 persen menjawab kebutuhan mereka di atas Rp 5 juta per bulan. Sedangkan yang menjawab kebutuhan hidup di bawah Rp2,5 juta per bulan ada 31 persen responden.
JENIS MEDIA
Pendidikan terakhir
Jenis Kel/Pernikahan
ONLINE : 27 %
SMA : 12 %
Laki-laki : 89%
CETAK : 14 %
D3 : 12 %
Perempuan : 11%
TV : 52 %
S1 : 61 %
Belum nikah: 26%
RADIO : 4%
S2 : 4 %
Menikah : 73%
TIDAK MENGISI : 3%
Tidak mengisi : 8%
Cerai : 1%
Kesenjangan tampak jelas karena jumlah kebutuhan hidup mereka jauh di atas rata-rata upah yang diberikan oleh perusahaan media tempat para jurnalis kontributor bekerja. Riset AJI menemukan sekitar 22 persen kontributor hanya berpenghasilan di bawah Rp1,5 juta per bulan.
Di Makassar ada seorang kontributor bekerja di perusahaan radio hanya menerima sekitar Rp 500 ribu per bulan. Padahal secara teratur menyetor berita 2-3 berita per hari.
Di wilayah Jabodetabek, seorang responden mengaku harus bekerja ganda sebagai kontributor di dua perusahaan online demi mengejar penghasilan lebih baik. Dari dua media online tersebut dia bisa memeroleh penghasilan Rp3 juta per bulan. Dari salah satu media online yang berbasis di Jakarta, kontributor tersebut hanya memeroleh penghasilan Rp1 juta per bulan.
Jumlah terbesar sebanyak 52 persen berpenghasilan antara Rp1,5 juta hingga Rp3 juta per bulan. Sisanya 14 persen berpenghasilan Rp3 juta hingga Rp5 juta, 9 persen berpenghasilan di atas Rp5 juta dan 3 persen tidak menjawab. Dari data tersebut terlihat pula bahwa 74 persen responden diketahui berpenghasilan kurang dari Rp 3 juta per bulan.
Adakah Jamsos dari Perusahaan ?
Ada 39 %
Tidak Ada 61 %
Responden juga menjelaskan tingkat penghasilan yang diperoleh dari setiap berita yang dikirim ke perusahaan media. Sebanyak 50 persen menjawab penghasilan per berita berada di kisaran Rp10 ribu hingga Rp 100 ribu.
Itu sebagian besar merupakan jawaban para responden yang terdiri atas kontributor media online. Sementara 20 persen responden menjawab penghasilan mereka Rp100 ribu hingga Rp200 ribu per berita, kelompok ini terdiri atas sebagain koresponden/kontributor media televisi dan media
Mampu bayar premi dari penghasilan jurnalistik cetak.
Mampu 45%
Tidak mampu 39%
Kadang2/ hanya untuk pasangan 4%
Tidak mengisi 12%
Persoalan-persoalan krusial lain yang mengemuka dari jawaban responden adalah kontrak kerja yang dianggap belum mengatur hal-hal mendasar seperti tunjangan kerja, jaminan sosial, hari libur, hingga penerapan sistem gaji pokok. Responden juga mengungkap sejumlah ketimpangan cukup menonjol dalam hal jaminan sosial. Sebanyak 61 persen menjawab tak menerima jaminan sosial dari perusahaan. Yang dimaksud di sini adalah jaminan sosial negara (BPJS) maupun asuransi swasta.
Meski mayoritas belum mendapat jaminan sosial melalui fasilitas kantor, ada 44 persen yang menjawab belum atau tidak mengikuti program asuransi swasta. Di lain sisi, kemampuan responden terbilang rendah untuk menyertakan diri maupun keluarga dalam program asuransi umum. Saat ditanya kemampuan menyisihkan sebagian penghasilan untuk program asuransi umum, hanya 45 persen responden yang menyatakan mampu.
Jaminan sosial menjadi salah satu poin penting bagi jurnalis bisa melaksakan tugas mereka sehari-hari.
Responden yang didominasi media TV dan online (79 persen) dalam survei AJI menjawab sejumlah pertanyaan tentang produktivitas. Dari hasil survey kami ketahui bahwa 99 persen responden menyatakan bekerja secara reguler di perusahaan media tempat mereka mengirim karya jurnalistiknya. Sebanyak 81 persen mengirim antara 1 hingga 3 berita per hari.
Sedangkan 11 persen mengirim karya sebanyak 3-5 berita per hari, 7 persen responden mengirim di atas 5 berita per hari. Hanya 1 persen yang menyatakan tak mengirim secara reguler per hari.
Sementara aspek lain adalah jam kerja, 94 persen responden menyatakan tak ada batasan pasti jumlah jam kerja kontributor. Hanya 6 persen yang menyatakan ada jam kerja. Secara umum yang memiliki jam kerja rutin menjawab mereka memiliki 8 jam kerja sehari. Temuan lain adalah soal jangkauan atau areal kerja. Pada kelompok jangkauan kerja 1 kabupaten hingga 8 kabupaten, ada 31 persen responden.
Sedangkan sisanya 69 persen, memiliki jangkauan kerja 8 kota/kabupaten hingga 1 provinsi. Dari jawaban responden juga tampak bahwa mereka diwajibkan siap bila perusahaan membutuhkan peliputan sewaktu-waktu di luar jam kerja normal termasuk di hari libur.
AJI terus mendesak perusahaan-perusahaan media yang mempekerjakan kontributor, agar menyediakan kontrak kerja yang mengatur kebutuhan-kebutuhan mendasar bagi jurnalis kontributor , misalnya kejelasan besaran honor, gaji pokok, hari libur dan jaminan sosial (BPJS maupun asuransi swasta).
Terhadap para kontributor, AJI menyerukan agar tetap menuntut kejelasan kontrak kerja serta perbaikan tingkat upah/honor termasuk bagi mereka yang bekerja untuk jaringan berita dalam satu naungan grup perusahaan media.
Sementara itu Ketua FSPM Independen, Abdul Manan memaparkan hingga awal 2015, berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen dan Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen, jumlah serikat pekerja media di Indonesia hanya 38 serikat pekerja. Padahal, total media di Indonesia mencapai 2.000.
Jumlah serikat pekerja media tersebut, sangat minim dibanding secara jumlah media. Jumlah serikat pekerja yang aktif juga hanya 24 serikat pekerja media. Tingginya ketimpangan antara jumlah perusahaan media dan serikat pekerja ini merupakan ironi. Sebab, selama ini media kerap menyuarakan nilai demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia. Kenyataannya, soal kebebasan berorganisasi di sektor media kurang tumbuh dengan baik.
Ada sejumlah penyebab dari minimnya jumlah serikat pekerja media ini. Faktor yang paling dominan adalah karena kurangnya kesadaran untuk berserikat. Selama ini, pengorganisasian serikat pekerja lebih banyak bertumpu pada jurnalis. Keterlibatan non-jurnalis dalam serikat pekerja juga relatif minim.
Pengorganisasian dan kepemimpinan dalam tubuh serikat pekerja di sektor media, selama ini bisa dikatakan stagnan. Perlu ada terobosan dan strategi baru, atau mencontoh pola kerja serikat pekerja lainnya, yang berbeda sektor, untuk kembali meningkatkan semangat para aktivis serikat pekerja media.
Sumber: AJI Indonesia