Purwokertokita.com – Asep Prabo Egiana tak henti mengagumi Pavla Travnickova. Gadis berumur 24 tahun asal Republik Ceko itu kini sedang mengikuti program live in di Desa Gumiwang Kecamatan Purwonegoro Banjarnegara. Pavla tinggal di desa penghasil pemain sepak bola itu selama dua bulan.
“Saya setiap hari menemani Pavla berkeliling desa untuk kampanye soal pengurangan penggunaan plastik dan gaya hidup sehat,” ujar Asep saat berbincang dengan Purwokertokita.com di tepi sungai Serayu, Rabu (29/3).
Pavla juga ikut kegiatan penduduk desa itu seperti membersihkan kolam ikan. Berbelanja ke pasar dan membuat tempe. Ia ditemani oleh muda mudi karang taruna Krida Taruna Gumiwang.
Keprihatinan Pavla membawanya ke sejumlah Negara di Asia Tenggara. Ia mengatakan, budaya di pedesaan juga mulai berubah. “Dulu saat pengajian atau arisan, mereka masih menggunakan gelas tapi saat ini mereka malah menggunakan air dalam kemasan plastic,” ujarnya.
Pavla yang tak makan daging, tak makan gorengan dan tak mau menggunakan gula untuk minumannya itu bertandang dari rumah ke rumah untuk berbicara tentang pentingnya lingkungan. Jika ingin berbelanja ke pasar, ia menyarankan untuk menggunakan tas kain bukan tas plastik.
Indonesia, kata dia, merupakan salah satu penghasil sampah plastik terbesar di dunia. Bahkan sampah plastiknya yang ada di lautan merupakan yang terbesar setelah Cina.
Agung Dhamar Syakti, Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji Kepulauan Riau mengatakan, dari total 5,4 juta ton sampah plastik per tahun yang dihasilkan Indonesia, sebanyak 0,5 hingga 1,5 juta metric ton sampah plastic mencemari pesisir nusantara. “Menurut majalah Science terbitan 2015, Indonesia adalah negara kedua setelah China penyumbang sampah plastik di laut,” katanya.
Ia menambahkan, setiap individu di Indonesia diperkirakan menghasilkan limbah 0.5 kg dimana 10 persennya adalah plastik. Plastik-plastik ini 83 persennya tidak terkelola ataupun terolah.
Perkiraan ini hanya menghitung 187 juta masyarakat Indonesia yang tinggal 50 kilometer dari wilayah pesisir. Plastik sangat sulit terdegradasi namun penyinaran oleh matahari, arus, pasang, gelombang, gigitan hewan dan bahkan mikroba dapat meremahkan plastik menjadi bentuk debris atau remahan yang lebih kecil.
Remahan itu justru akan meningkatkan risiko dampak negatif akibat dimakannya remahan plastik akibat kekeliruan biota laut dalam memburu makanannya. Biota laut seperti penyu, singa laut, lumba-lumba, paus, avertebrata dan berbagai jenis ikan dapat terjebak dalam sampah-sampah berupa jaring dari nilon, sehingga dapat membuatnya terbunuh baik karena tidak dapat mencari makan atau menjadi mangsa yang mudah bagi predatornya.
“Tentunya, keberadaan sampah plastik di laut juga mengurangi nilai keindahan suatu situs,” katanya.