Purwokertokita.com – Merayakan pergantian Tahun Baru Islam 1440 H pada Senin (10/9) malam, kurang lebih 900 orang warga Desa Kaliwedi, Kecamatan Kebasen, Banyumas terlibat dalam Festival Abit.
Mereka per-150 orang terdiri dari anak-anak sampai orang dewasa, menjadi perwakilan 5 masjid dan 1 Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) di Desa Kaliwedi yang terdiri dari kelompok pemain abit dan pawai obor.
Festival yang digelar dengan tujuan menyemarakkan perayaan Tahun Baru Islam ini, menjadi momen kebahagiaan tersendiri bagi Sahud (48) yang saat ini menjadi Kepala Desa Kaliwedi.
Sahud menunggang kuda dari lapangan desa, lalu mengelilingi kampung diiringi pawai obor. Sepanjang perjalanan kurang lebih 1,5 jam, ia diselimuti bahagia. Matanya menatap mata warga yang berdiri menunggu di depan kediamannya masing-masing menonton kembali tradisi Abit.
Tiba di halaman balai Desa Kaliwedi pukul 22.00 WIB, Sahud pun memberi kejutan. Mengenakan penutup kepala tradisional jawa atau blangkon di kepala, berkemeja putih dibalut jas hitam, Sahud turun dari punggung kuda. Berdiri di atas balok kayu, Sahud mengayun-ayunkan tongkat berujung api di atas panggung. Warga yang meriung di balai desa sontak bertepuk tangan.
Kemeriahan Festival Abit ini membawa Sahud pada kenangan masa lalunya. Puluhan tahun silam, ketika rebana terdengar sayup-sayup ditabuh ia akan menunggu di halaman rumah menggenggam obor bambu di jemari kecilnya. Kepulan asap hitam menguarkan bau minyak tanah di jalanan kampung, itu tanda sekelompok santri bakal memainkan Abit mengayunkan tongkat bambu berujung kobaran api.
Dahulu, di tahun 1970-an, Sahud mengenang, tradisi Abit selalu ditunggu-tunggu warga. Tradisi ini mulai diperkenalkan oleh santri di Pesantren Kaliwedi Lor pada tahun 1960-an. Ketika itu, Abit acapkali dipertontonkan saat gelaran khataman Al-quran, pesta sunatan, pesta pernikahan dan perayaan Tahun Baru Islam.
“Sambungan listrik baru masuk ke desa ini tahun 1985. Jadi saat itu, obor bambu jadi salah satu sumber penerangan. Atraksi Abit mungkin dikembangkan dari obor bambu itu, selalu meriah jadi tontonan warga,” kata Sahud.
Kepiawaian memainkan Abit pula yang jadi kekhasan ketrampilan warga Desa Kaliwedi dan dikenal luas sampai wilayah Kabupaten Cilacap bagian barat di Kecamatan Maos dan Kroya.
Pada tahun 1980-an, kelompok Abit yang diiringi kelompok rebana acap diundang memeriahkan pesta rakyat atau hajatan warga baik di wilayah Kabupaten Banyumas atau Cilacap. Sebab itu pula, Abit mulai jadi keterampilan khusus yang diajarkan kepada santri-santri di lima masjid yang tersebar di lima grumbul Desa Kaliwedi yakni Gandasuli, Leler, Kaliwedi Lor, Legok dan Ngasinan.
Menurut Sahud, keterampilan memainkan Abit terbagi dalam tiga tingkat kelincahan yang disebut kalung. Paling dasar, kalung satu yaitu teknik mengayunkan tongkat api di pergelangan tangan; kalung dua kepiawaian memutar-mutar tongkat api di belakang punggung; sedang paling puncak kelihaian gerakan melingkarkan tongkat di bagian paha.
Tradisi yang sudah turun-temurun di Desa Kaliwedi ini sempat meredup, sejak tahun 1990-an, Abit mulai jarang dimainkan lagi. Sudah jarang orang mengundang saat hajatan sunat atau nikahan.
“Baru di tahun 2014, kami pihak desa mulai mengembangkan Abit, mengajarkannya kembali ke santri di masjid-masjid Desa Kaliwedi,” ungkap Sahud.
Keinginan untuk kembali menghidupkan tradisi Abit bukan tanpa alasan, Sahud merasa resah dengan sejumlah anak muda mulai jauh dari aktivitas-aktivitas keagamaan dan terjerumus dalam perilaku yang dilarang agama, semisal mabuk-mabukan.
Tradisi Abit yang pernah dipopulerkan santri, dipandang bisa jadi pemantik semangat agar anak-anak muda dekat dengan aktivitas syiar agama Islam di masjid-masjid desa.
“Tahun 2013, kami lalu memulai mengenalkan kembali tradisi Abit yang kegiatannya disebar di lima masjid. Bertahap kami rancang Festival Abit yang mempertontonkan permainan Abit oleh 5 kontingen masjid. Kami berikan bantuan dana pada tiap kelompok, tidak banyak memang Rp 500 ribu. Kami memilih perayaan Tahun Baru Islam sebagai momen, karena memang abit ini sejarahnya lahir dari kreativitas santri”, ujarnya.
Bendahara Festival Abit Desa Kaliwedi, Muhamad Hariri mengatakan, pihaknya ingin agar perayaan Tahun Baru Islam bisa dirayakan secara semarak dan berkesan, juga positif bernuansa religius.
“Kesannya selama ini hanya perayaan tahun baru masehi yang semarak. Kami ingin perayaan tahun baru Islam juga dirayakan secara semarak dan berkesan,” kata Hariri ketika ditemui pada Senin (10/9) malam.
Festival Abit ditutup dengan perebutan gunungan yang disusun dari hasil bumi masyarakat Desa Kaliwedi mulai dari kacang panjang, terong, sampai buah-buahan.
“Gunungan ini menyimbolkan ungkapan syukur masyarakat Desa Kaliwedi yang mayoritas menggantungkan hidup sebagai petani di sekitaran tanah subur yang dialiri air sungai Serayu,” pungkas Hariri. (AA/YS)