Empu Rizal, Seni Pamor dalam Tempaan Generasi Muda

Peristiwa, Ragam437 Dilihat

BANYUMAS- Dia menggeluti profesi yang di masa kini tidak banyak orang minati. Usianya 35 tahun. Perawakannya tegap. Janggut ia biarkkan tumbuh lebat di dagu dan pipinya. Namanya Afrizal Fadil Azizi.

Bara api, ia akrabi sebagai bagian wajar dari profesi yang ia geluti. Di ruang kerjanya, di dalam gubuk berukuran 4 x 5 meter, ada tungku tempat menyepuh besi dan wadah air. Lalu palu-palu dan pencapit besi ditata berjajar.

Gubuk berdinding bambu itu berlokasi di area situs Sela Kyai, Desa Karang Klesem, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas.

“Sejak tahun 2018, saya memulai kepengrajinan keris atau seni pamor. Menjadi Empu saya maknai sebagai darma kebudayaan,” kata Afrizal yang akrab disapa Empu Rizal ini.

Empu Rizal bercerita, keterpanggilannya menggeluti seni pamor tak lepas dari kecintaanya pada keris. Ia memandang, keris tak semata pusaka, tapi benda seni yang menyimpan jejak panjang sejarah Nusantara.

Sayangnya, meski keris telah digolongkan sebagai benda budaya yang diakui oleh Unesco bahkan ditetapkan sebagai intangible heritage of humanity, tak banyak generasi muda yang terjun menggeluti seni kepengrajinan keris. Regenerasi kepengrajinan keris bisa dikata mandek.

“Karena sudah jatuh hati ke keris, saya memutuskan ngangsuh kawruh (belajar) babagan tosan aji (kepengrajinan keris). Saya belajar teknik menempa. Bagaimana mengatur kekuatan pukulan, memastikan letak pukulan, memahami insting pijar sebuah logam, juga bagaimana mencampur besi, meteorit dan baja,” kata Rizal.

Tempat Empu Rizal menimba ilmu, ia peroleh dari Empu Basuki Teguh Juwono di padepokan keris Brodjo Buwono, Solo, Jawa Tengah. Di sana, selama 1 tahun, ia nyantrik.  Empu Rizal memulai pembelajarannya sebagai panjak atau asisten pembantu empu. Tugasnya, yaitu menempa besi panas sesuai perintah empu, mengatur bara api, membantu proses pengikiran keris, dan lainnya. Selama nyantrik, ia sempat membuat 2 keris jenis lurus dan satu keris jangkung.

Tahun 2017, Rizal lalu memutuskan pulang kampung ke Banyumas. Kembali ke kampung halaman, tekadnya bulat untuk mendirikan besalen tosan aji. Ia lalu memutuskan mendirikan besalen di situs Sela Kyai, lokasi yang di masa silam konon tempat perlindungan laskar Pangeran Diponegoro. Satu tahun kemudian, besalen ini mulai beroperasi.

Sampai saat ini, kurang lebih Empu Rizal telah membuat 7 keris. Standar pembuatan 4-6 bulan terkait dengan bahan, bentuk keris atau model pamor. Bahan yang dibutuhkan: besi, meteorit atau nikel dan baja.

Kebutuhan lainnya, arang sebanyak 20 karung. Hal ini juga tergantung pada proses pelipatan besi. Semakin banyak lipatan, maka arang yang dibutuhkan semakin banyak pula.

“Sari-sarining wesi. Sudah bersih dari campuran. Penyusutannya, dari berat besi 20 kg jadi sekitar 500 gram,” kata Empu Rizal.

Karakter pemesan keris di Besalen Sela Kyai, umumnya terkait dengan profesi yang menjadikan keris sebagai ageman atau pegangan. Keris Pasopati misalnya untuk kepangkatan di militer sebab melambangkan kesatria. Untuk penulis misalnya, keris dengan pamor uler lulut. Sedang, bagi orang yang menggeluti dunia hukum biasanya keris sempono bungkem. Pembuatan jenis keris juga disesuaikan dengan hajat dan weton pemesan.

“Di masa silam keris memang terkait dengan strata sosial, sebagai piyandel kelengkapan sandangan. Beberapa keris yang saya buat, pemesannya ada yang berprofesi sebagai pengusaha, politikus dan pegawai negeri sipil,” ujar Rizal.

Jatuh hati pada keris memang memiliki keaneka ragaman latar belakang. Salah satu kolektor keris di Banyumas, Wahyu Seto Aji, bercerita sudah menyukai benda-benda tosan aji karena pengaruh keluarga. Ia mengenang, kakeknya banyak menyimpan keris dan tombak. Aji pun makin jatuh hati ke keris yang tersematkan di dalam kisah-kisah pewayangan. Misalnya, ia mengagumi Arjuna yang memiliki keris pulang geni.

Aji percaya keris memiliki kandungan harapan leluhur yang tersimbolisasi di pamor keris. Apalagi pembuatan keris oleh seorang empu tidak sembarangan yakni melalui suatu tirakat. Keris pun ditempa dari bahan-bahan berkualitas dan terpilih.

“Saya tiap hari membawa keris. Karena keris ini warisan dari keluarga. Pamor keris yang saya miliki jenisnya banyu mili. Pamor ini simbolisasi doa aliran rezeki. Saat ini, di rumah saya menyimpan 5 keris,” kata Aji di Besalen Sela Kyai.

Aji turut bangga di Banyumas muncul seorang empu muda. Ia memandang, kepengrajinan keris yang digeluti oleh Empu Rizal termasuk pilihan hidup yang butuh keberanian. Pasalnya, keberadaan keris acapkali disalah pahami sebagai benda mistik.

“Di mata saya, Empu Rizal adalah seorang penjaga tradisi. Menjadi empu di zaman sekarang tentu bukan hal mudah ketika tak banyak orang memahami lagi seluk beluk keris,” ujar Aji.

Di Besalen Sela Kyai, Empu Rizal memang kerap dikunjungi para penggemar keris. Mereka acapkali berdiskusi tentang keris baik dari segi sejarah maupun tatanan sosial dan politik masyarakat Jawa. Empu Rizal bersyukur, darma bakti untuk ikut serta melestarikan budaya adiluhung Nusantara lambat laun mempertemukannya dengan orang-orang yang memiliki minat mendalam untuk menghayati dunia perkerisan (aar).

Tinggalkan Balasan