Purwokertokita.comĀ – Selain mahal dan rumit, ternyata pemerintah Indonesia dianggap tidak mampu melindungi hak kekayaan intelektual para pemegang hak paten. Penemuan anak negeri ini masih mudah dibajak oleh orang yang tidak bertanggung jawab di luar negeri.
Curahan hati ini diungkapkan oleh penemu metode pengeringan sperma, Dr Mulyoto Pangestu PhD di Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Rabu (2/5). Menurut dia, prosedur untuk mendapatkan hak paten di Indonesia relatif rumit dan mahal. Selain itu, tidak ada jaminan perlindungan secara hukum untuk tidak dibajak pihak lain.
“Hak paten itu mirip seperti asuransi. Jika ingin diakui oleh luar negeri seperti negara-negara benua Eropa, ongkosnya mahal. Untuk mengurus Hak Kekayaan Intelektual saja, harus keluar dana Rp 750 ribu. Untuk mendapatkan hak paten di luar negeri dananya USD 50 ribu. Setiap tahun juga harus membayar USD 15 ribu selama lima tahun. Setelah lima tahun, penemuan tersebut menjadi publik domain,” tutur pengajar di Monash University, Melbourne ini.
Masalah lainnya, sambung dia, sejumlah negara seperti Rusia dan Tiongkok tidak meratifikasi perjanjian hak paten, berbeda dengan negara-negara di Eropa. Pada kedua negara ini, hak paten yang didapat peneliti bisa saja tidak berlaku.
Daripada menjadi biang keruwetan, dosen Fakultas Peternakan Unsoed ini memilih untuk tidak mematenkan semua temuannya. Bagi dia, publikasi ilmiah saja sudah cukup.
“Lima penemuan saya tidak pernah dipatenkan. Hak paten ini mempersulit orang lain dan menghambat pahala,” tandasnya.
Mulyoto sendiri dikenal dengan temuannya teknik pengeringan sperma dengan cara evaporative drying. Metode ini relatif lebih murah karena menekan biaya sampai USD 5.000 dari harga biasa mencapai USD 10.000 per tahun.
Penelitian ini dikerjakan selama 8 bulan saat Mulyoto menempuh pendidikan di Monash University Melbourne, Australia. Bahan yang dipakai berupa dua lapis tabung plastik mini berukuran 0,250 mili liter dan 0,500 mili liter. Kemudian disegel dengan panas (heat-sealed), setelah itu dibungkus lagi dengan aluminium foil.
Teknik Intra-Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI) atau penyuntikkan satu sel sperma ke dalam sel telur ini dikenal sebagai salah satu teknik di bidang bayi tabung. Akan tetapi, Mulyoto tidak menguji coba metode ini kepada manusia sebab dia hanya mengantongi ijin untuk uji coba pada hewan.
Berkat temuan ini, pria asal Pekalongan itu meraih penghargaan tertinggi dalam kompetisi Young Inventors Awards yang digelar majalah The Far Eastern Economic Review (FEER) dan Hewlett-Packard Asia Pasifik. Saat ini, dia menjadi konsultan untuk 20 klinik yang menyediakan program bayi tabung di Indonesia.
Mulyoto juga berkolaborasi dengan peneliti dari Monash University Melbourne, Universitas Indonesia, Universitas Airlangga dan Universitas Udayana untuk menyelidiki pandangan masyarakat mengenai program bayi tabung. Menurutnya saat ini, orang Indonesia mulai memahami program bayi tabung. Selain itu, lokasi dan fasilitas pengobatan di Tanah Air semakin baik.
“Penelitian ini menjadi terobosan baru untuk melihat bagaimana sebenarnya keinginan masyarakat, khususnya yang mengalami infertilitas, serta bagaimana respons dari keluarga dan masyarakat sekitarnya,” kata Kepala Laboratorium Obstretik dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Monash University, Australia ini. (NS)