Riset IFJ-AJI: Kekerasan Ancaman Serius Jurnalis Indonesia

Peristiwa338 Dilihat

JAKARTA, PURWOKERTOKITA.COM – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan International Federation of Journalists (IFJ) telah menggelar riset keamanan jurnalis dan kondisi kerja di Asia Tenggara.

Hasil riset yang diikuti 511 responden jurnalis dari Indonesia ini menyebutkan kekerasan terjadi karena kerja-kerja jurnalistik masih menjadi ancaman terbesar bagi jurnalis di Indonesia.

Selain itu, intimidasi yang ditujukan tidak hanya kepada jurnalis tetapi juga kepada orang-orang dekat, termasuk keluarga. Kekerasan fisik juga menjadi bentuk ancaman tertinggi lain yang menghambat kemerdekaan pers.

Hal ini tergambar dalam riset yang menyoroti kebebasan pers di Asia Tenggara. Riset ini dikerjakan International Federation of Journalists (IFJ) dan Serikat Jurnalis Asia Tenggara (South East Asia Journalists Unions/SEAJU) di mana AJI Indonesia merupakan afiliasi IFJ dan juga bagian dari SEAJU.

Studi bertajuk “Holding the Line: South East Asia Media Freedom Report 2019” ini diluncurkan pada 23 November 2019. Peluncuran sekaligus menjadi momentum 10 tahun pembunuhan massal Ampatuan di Filipina yang menewaskan 58 orang, termasuk di dalamnya 32 jurnalis.

Riset ini menunjukkan 67 persen dari total responden merasa tidak aman. Kekerasan, baik fisik dan non fisik tetap menjadi ancaman serius bagi jurnalis di Indonesia.

Temuan ini selaras dengan serangkaian kekerasan terhadap jurnalis. Dalam kericuhan aksi demostrasi massa, pada 21-22 Mei 2019 di Jakarta misalnya, AJI Jakarta mencatat sedikitnya 20 jurnalis mengalami kekerasan di beberapa titik kerusuhan. Tingginya angka korban yang terjadi pada dua hari itu, menjadikan insiden ini sebagai kasus terburuk sejak reformasi.

“Tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis ini disebabkan karena tidak adanya penanganan kasus oleh aparat. Apalagi jika kasus kekerasan ini melibatkan personel kepolisian. AJI meminta kasus kekerasan terhadap jurnalis harus diselesaikan dengan tuntas menggunakan delik Undang Undang Pers,” kata Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim.

Selain kekerasan fisik, bentuk ancaman lain yang terjadi saat ini yaitu doxing. Doxing adalah pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis tidak sesuai dengan aspirasi politik pelaku, lalu menyebarkannya melalui media sosial untuk tujuan negatif.

Selain itu, persoalan upah yang rendah dan kondisi bekerja, juga masih menjadi ancaman non fisik lain yang membayangi profesi jurnalis di Indonesia. Kendati jurnalis masih rentan terhadap kekerasan dan ancaman, studi menunjukkan, bahwa upaya pemerintah untuk melindungi jurnalis justru masih rendah.

Selain itu, AJI mendorong perusahaan media agar menyediakan alat pelindung dan keselamatan kerja kepada jurnalis, sebelum menugaskan mereka meliput aksi-aksi di medan berbahaya.

AJI juga mengingatkan perusahaan media, bahwa perlindungan dan keselamatan jurnalis serta penanganan kasus kekerasan merupakan tanggung jawab perusahaaan media. Karena itu, perusahaan selayaknya menjadi garda terdepan dalam mendampingi korban hingga kasusnya selesai sesuai sesuai mekanisme Undang Undang Pers. Bukan sebaliknya, menghentikan proses pelaporan kasus dan menghambat penanganan kasusnya.

“Karena itu AJI mendorong Kapolri yang baru untuk menuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, baik pelakunya dari pihak non negara maupun negara. Hal ini penting supaya dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan dan mencegah kasus serupa terulang kembali,” ujar Sasmito Madrim.

Hasil studi ini juga menyebutkan masalah serius lain yang mengancam kebebasan pers dan keselamatan jurnalis adalah impunitas. Skor Indonesia untuk impunitas dalam studi ini berada di angka 7,6. Peringkat disusun dari angka 1 hingga 10, dengan angka 10 adalah skor terburuk.

Untuk pertanyaan tentang faktor negatif apa yang menggerakkan responden dalam menentukan skor tentang impunitas, studi menunjukkan pemerintah adalah faktor utama. Adapun skor untuk efektivitas sistem peradilan dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis adalah 7,5.
Selain menyoroti mengenai bentuk ancaman terhadap jurnalis, studi juga membahas mengenai situasi kebebasan media. Di Indonesia, hasil riset menunjukkan situasi kebebasan media di Indonesia stagnan.

Faktor utama yang mendorong hal ini adalah kepemilikan media. Selain itu, faktor lain seperti etika jurnalistik dan profesionalitas jurnalisme, kebijakan pemerintah dan legislasi, serta aktor politik dan negara juga memberikan pengaruh terhadap rendahnya kebebasan media di Indonesia.

Direktur IFJ Asia Pasifik Jane Worthington mengatakan, peningkatan kekerasan terhadap jurnalis termasuk kekerasan online menunjukkan situasi di level regional masih sangat mengancam bagi jurnalis dalam menjalankan pekerjaan.

“Kita melihat jurnalis diserang, menjadi korban doxing, ditahan atau dituntut karena pencemaran nama baik, hanya karena para jurnalis ini bekerja melayani kepentingan publik,” ujar Worthington.

Ia berharap riset ini dapat menjadi bagian dari advokasi untuk jurnalis dan serikat pekerja untuk terus melawan dan mendesak perubahan guna memperkuat kebebasan media dan demokrasi.

Laporan pada tahun ini merupakan laporan kedua yang diluncurkan dari kolaborasi IFJ dan SEAJU. Riset pertama diluncurkan tahun lalu. Pada 2019, riset terwujud berkat dukungan media, Safety and Solidarity Fund (MSSF) dan the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO). Di Asia Tenggara, riset ini melibatkan 1.270 jurnalis dan pekerja media dari tujuh negara, yaitu Indonesia, Kamboja, Filipina, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Timor Leste.(Afgan)

Tinggalkan Balasan