Purwokertokita.com – Usaha menterjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Banyumasan sudah dilakukan Ahmad Tohari, 67 tahun, sejak tiga tahun lalu. Usahanya itu sempat membuat berat badannya turun 1,5 kilogram. Banyak kosakata bahasa Indonesia dan Arab yang sulit dicarikan dalam padanan bahasa Banyumasan. “Saya sempat stres, tapi karena niatnya ibadah saya jalani dengan nikmat,” ujar Tohari saat ditemui di rumahnya di Jatilawang Banyumas, beberapa waktu lalu.
Mengenakan pakaian batik Banyumasan dipadu peci hitam, Tohari mengaku hanya ingin menghormati pembaca Purwokertokita.com. Sehari-hari ia mengenakan kaos oblong dan sarungan.
Baca Juga: Alhamdulillah, Terjemahan Al Quran Bahasa Banyumasan Sudah Diluncurkan
Penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk itu merupakan satu dari 10 anggota Tim yang dibentuk Kementerian Agama untuk menterjemahkan Al Quranber bahasa Banyumas. Ia dipilih karena selama ini dikenal sebagai penyusuan kamus Jawa dialek Banyumasan.
Tim sebelas mulai bekerja tahun 2011. Masing-masing anggota tim bertugas menterjemahkan 1/11 dari seluruh ayat Al Quran. Tak semua anggota tim berasal dari Banyumas yang paham bahasa Banyumasan.
Tahap pertama penterjemahan bisa diselesaikan dalam waktu 1,5 tahun. Selanjutnya seluruh hasil terjemahan diserahkan ke Tohari untuk diedit. Pada tahap ini, Tohari bisa menyelesaikannya dalam waktun enam bulan.
Di tahap ini, Tohari sudah menyelesaikan 12 jus dari 30 jus naskah terjemahan. Di tahap validasi ini, kata Tohari, ikut dilibatkan ahli bahasa arab, penghafal, pengasuh pondok pesantren dan tokoh NU untuk lebih mendekatkan makna sesungguhnya.
Tohari mengaku, terjemahan Banyumasan berbasis terjemahan Al Quran berbahasa Indonesia keluaran Kemendag tahun 2011. Meski demikian, tim harus selalu membaca teks asli. Mereka mencari akar makna dari teks aslinya.
Perdebatan tak selalu panjang. Sejauh ini mereka bisa mengatasi perbedaan dalam tim. Ia mencontohkan, di dalam Al Quran kata ganti untuk Alloh ada dua yakni aku dan kami. “Dalam terjemahan Banyumasan, semua mendasarkan pada kata ganti aku atau Ingsun,” katanya.
Selain itu, ada beberapa kosakata yang di dalam Bahasa Banyumasa tidak ada. Seperti kata ganti orang pertama jamak–kami—dalam bahasa Jawa standar adalah kito. Namun, dalam bahasa Bnayumasan tidak mengenal kata kito, mereka lalu menggantinya menjadi Inyong Kabeh.
Contoh lainnya, kata dia, teks Wal Ashri atau yang berarti demi waktu atau demi masa. Di dalam bahasa Banyumasan tidak populer tidak ada padanan untuk kata demi. Lalu, mereka memilih kata Sekawit untuk mengganti kata demi. Sekawit, kata Tohari, saat ini sudah sangat jarang digunakan bahkan nyaris tidak dikenal.
Masih menurut Tohari, penerjemahan tersebut memang sejak awal bertujuan untuk mendekatkan Al Quran kepada masyarakat abangan. Mereka ini jumlahnya lebih besar dibanding pengikut NU maupun Muhamadiyah. “Menurut penelitian jumlah Islam abangan sekitar 62 persen,” katanya.
Baca Juga: Apa Terjemahan Gay dan Lesbian dalam Terjemahan Al-Quran Bahasa Banyumasan?
Aris Andrianto