Anak Putu Banakeling dan Mitos Gerhana pada Bulan Jumadil Awal

Lingkungan, Rehat230 Dilihat
Gerhana matahari dilihat dari Bukit Sakub Brebes yang diambil dengan tehnik multiple exposure, Rabu (9/3). Gerhana di Banyumas Raya hanya terlihat sebesar 85 persen. (Syaqib Akbar/Purwokertokita.com)
Gerhana matahari dilihat dari Bukit Sakub Brebes yang diambil dengan tehnik multiple exposure, Rabu (9/3). Gerhana di Banyumas Raya hanya terlihat sebesar 85 persen. (Syaqib Akbar/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Gerhana matahari bagi sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki berbagai macam cerita dan mitos. Semisal di masyarakat jawa, mitos gerhana matahari yang membuat siang menjadi gelap gulita kerap dianggap ada sosok raksasa atau buto ijo sedang memakan matahari atau bulan.

Bahkan di akhir tahun ’90-an, ada sinetron “Gerhana” menggambarkan sosok jagoan muda  yang lahir saat fenomena alam tersebut. Dalam ceritanya, sosok pemuda bernama gerhana digambarkan memiliki kekuatan super yang bisa menggerakkan berbagai barangdi dekatnya. Pun, itu hanya bagian cerita dan mitos dalam masyarakat Indonesia.

Tetapi bagi anak putu komunitas adat Banakeling, yang tinggal di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, fenomena gerhana matahari total yang hanya terjadi di wilayah Indonesia pada 9 Maret 2016 dipercayai membawa firasat tertentu.

Juru bicara masyarakat adat Desa Pekuncen, Sumitro, mengemukakan gerhana matahari yang terjadi kali ini berada di bulan Jumadil Awal dalam almenak jawa.

“Biasanya kalau ada gerhana seperti ini, para sesepuh akan melakukan semedi di makam Banakeling. Itu dilakukan untuk memanjatkan doa kepada pangeran (Yang Maha kuasa) agar semua anak putu dan warga di nusantara diberikan keselamatan,” katanya. Rabu (9/3).

Ia mengemukakan, gerhana matahari yang terjadi di bulan Jumadil Awal dalam penanggalan Jawa merupakan gambaran firasat akan adanya banyak huru-hara pada masa mendatang.

“Dari catatan yang ada dan ilmu titen yang biasa kami lakoni, kalau ada gerhana di bulan Jumadil Awal akan terjadi banyak huru hara. Namun ini kan fenomena atau pertanda alam yang susah untuk diprediksi,” jelasnya.

Semedi tersebut, jelas Sumitro, akan dilakukan pada Kamis (10/3), bertepatan dengan hari pasaran jawa yang jatuh pada malam Jumat Kliwon. “Jadi semedinya akan dilaksanakan sekitar pukul 20.00 WIB sampai pukul 01.00 WIB dinihari,” ujarnya.

Slametan

Sebelum digelar acara semedi, terlebih dahulu dilaksanakan slametan di rumah juru kunci adat. Dalam slametan tersebut, disajikan hidangan berupa tumpengan yang di dalamnya berisi ayam utuh.

“Dalam tumpengnya, ada ayam seglontongan dan kepala ayam diberdirikan, sedangkan cekernya dibuat bersila. Ini melambangkan Nabi Muhammad saat berdiam di gua hira. Tumpeng yang dibuat tersebut menggambarkan gua hira,” jelasnya.

Diakuinya, pada gerhana matahari kali ini, warga setempat tidak membunyikan lesung, kentongan atau alat rumah tangga yang bisa membuat suara gaduh. Kondisi tersebut disebabkan sinar matahari masih terlihat bercahaya.

“Kalau gelap gulita biasanya akan dibunyikan semuanya (lesung, kotekan, kentongan, serta alat rumah tangga lainnya). Kayak waktu dulu gerhana bulan yang membuat semuanya menjadi gelap gulita, warga akan membunyikan alat-alat yang bisa membuat suara gaduh,” jelasnya.

Meski begitu, ia mengimbau agar semua warga di seluruh nusantara untuk selalu berdoa agar diberi keselamatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa agar selalu dilindungi.

Tinggalkan Balasan