Saeni, Perempuan, dan Kemandirian

TERBILANG 18 tahun sudah Saeni menekuni profesi penjahit. Selama itu pula perempuan penyandang tuna daksa ini bergelut dengan diri, dengan keterpurukan dan kerendahdirian. Saeni telah membuktikan, bahwa kuat bukan sebatas fisik, namun juga mental. Ketekunan mengantarkannya menjadi pelaku usaha kecil dan diganjar penghargaan Bupati Purbalingga sebagai wirausahawan untuk kategori penyandang disabilitas.

Tak sekadar menjahit, Saeni yang terus mengembangkan kemampuan juga mampu mendesain berbagai macam pakaian, mulai dari yang sederhana hingga yang membutuhkan detail seperti jas dan kebaya. Semua ia pelajari sendiri alias otodidak. “Setiap mendapat pesanan  untuk mendesain, saya anggap sebagai tantangan,” ujar dia usai menerima penghargaan pada ajang Young Entrepreneur Festival.

Saeni mengatakan tak mudah bagi penyandang disabilitas untuk bangkit melawan tekanan mental, apa lagi sampai eksis dan menghasilkan karya. Sebagian besar penyendang disabilitas memikul beban ketidakpercayaan diri, baik karena pola asuh di keluarga maupun karena stigma dari masyarakat. Penyandang disabilitas kerap dipandang sebelah mata karena dinilai tidak sempurna secara fisik. Hal ini menjadi beban bagi para penyandang disabilitas ketika hendak terjun ke ranah publik. Karena itu, ia berharap publik lebih bijak. Ia juga meminta keterbukaan akses ke ruang publik sehingga para penyandang disabilitas bisa bebas berkreasi. “Untuk para penyandang disabilitas, saya berpesan terus semangat. Tidak perlu minder,” kata dia.

Saeni bukan satu-satunya perempuan tangguh yang berhasil lepas dari jerat stigma khas masyarakat patriarki, bahwa perempuan tak lebih dari sekadar kanca wingking. Masih pada ajang Young Entrepreneur Festival, sekelompok perempuan memberdayakan diri dengan membentuk perkumpulan Forum Eco Print Purbalingga. Forum ini mewadahi perempuan yang aktif menggeluti eco printing. Eco printing merupakan teknik membatik dengan bahan-bahan alami sehingga ramah lingkungan. “Pemasaran sudah sampai Jakarta, alhamdulillah respons pembeli semakin bagus dari hari ke hari,” kata Kusmiyati, pelaku usaha batik eco printing.

Untuk membatik dengan teknik ini, Kusmiati harus menyiapkan sejumlah bahan seperti dedaunan, kulit kayu dan bunga. Pertama kain bahan batik dibersihkan dari bahan kimia dengan cara direndam di air tawas selama satu malam. Setelah dikeringkan, kain siap dimotif sesuai desain dengan daun atau bunga. Ada beberapa cara untuk mendapatkan pola gambar daun atau bunga yang diinginkan. Pertama meletakkan daun dan bunga di dalam lipatan kain lalu dipukul perlahan hingga zat pewarna daun mengecap di lembaran kain. Cara yang lain yaitu dengan meletakkan daun di dalam lipatan kain kemudian direbus selama beberapa jam.

Setelah gambar daun atau bunga menempel pada kain, selanjutnya warna dikunci agar tidak mudah pudar. Teknik penguncian warna menggunakan tiga media, antara lain larutan kapur, tawas dan tunjung. Larutan tawas digunakan jika menginginkan warna kain tampak sesuai aslinya. Larutan kapur menimbulkan efek gelap pada kain. Sementara larutan tunjung untuk menghasilkan warna kain lebih gelap dari yang menggunakan larutan kapur. “teknik ini kami pelajari pertama di Banjarsari, selanjutnya kami kembangkan sendiri dengan mempelajari di Google,” kata dia.

Usaha ini bukan saja berkontribusi pada kelestarian lingkungan karena menggunakan bahan alami, tetapi juga memandirikan para perempuan secara ekonomi. Kusmiyati membandrol batik ramah lingkungan ini mulai dari harga Rp 150 ribu hingga Rp 900 ribu. “Usaha ini jauh lebih menguntungkan, satu lembar kain bisa sampai Rp 900 ribu. Waktu pembuatan hanya tiga hari,” kata dia.

Capaian Saeni dan Kusmiyati mengabarkan pada publik bahwa perempuan mampu berdaya. Keterbatasan bukan alas an untuk berhenti berkarya. Namun kemauan dari dalam saja tidak cukup. Perlu juga dorongan dari pemerintah untuk membuka akses dan menyediakan fasilitas untuk kelompok marjinal dan rentan agar semakin berdaya dan mandiri. (rudal afgani)

Tinggalkan Balasan