Oleh: Yon Daryono*
“Media massa (surat kabar) menjadi satu instrument penting kebebasan berpendapat beberapa dekade terakhir. Di Indonesia, perkembangan media massa sempat melalui berbagai fase sejarah, dan patut kiranya untuk kembali dikupas sebagai bahan referensi untuk masyarakat secara luas.”
Pengantar
Jauh-jauh hari sebelum Republik Indonesia didirikan oleh Bapak Bangsa, masyarakat di negeri ini sudah mengenal surat kabar dengan berbagai macam terbitan dengan bahasa yang berbeda-beda. Mulai edisi berbahasa Belanda, berbahasa Melayu, hingga Bahasa Indonesia.
Sejumlah sejarawan mencoba membuat garis tentang babak sejarah perkembangan media massa di tanah air. Dalam catatan mereka, awal perkembangan media massa di nusantara dimulai sejak tahun 1744-1854. Di zaman ini perkembangan surat kabar kerap disebut sebagai babak putih pers di Hindia Belanda.
Pertanyaannya kenapa disebut babak putih? Ternyata surat kabar waktu itu hanya diperuntukkan bagi pembaca yang sehari-hari berbahasa Belanda. Surat kabar ini juga memiliki konten informasi seputar kehidupan orang-orang Eropa yang bertempat tinggal di Jawa, Sumatera dan sejumlah wilayah di nusantara. Media di masa itu tidak memberitakan informasi yang bernuanasa kritis, politis.
Babak putih kemudian menjadi berubah manakala, kepentingan politik, kolonialisasi, dan progpaganda perang mempengaruhi pemberitaan di media massa. Penguasa (Pemerintah/Rezim) kemudian memiliki peluang menggunakan power politik yang dominan untuk mengintervensi pers.
Manakala peran pemerintah untuk mengontrol pers mengendur, muncul fenomena ternyata masyarakat lah yang diharapkan bisa menjadi pengawas media. Sayangnya tidak semua masyarakat memahami hak-hak mereka sendiri sebagai pembaca, pendengar atau pemirsa.
Pokok Diskusi
Dalam kesempatan ini, akan dibahas sejumlah fase perkembangan pers di tanah air, dilanjutkan dengan catatan-catatan agar kita paham, tentang bagaimana cara merespon informasi yang tersebar di media massa. Media juga ditantang memberikan saluran bagi publik dalam merespon sajian media mereka sendiri?
1. Mulainya Fase Kontrol Penjajah!
Tahun 1744 percobaan pertama menerbitkan surat kabar di wilayah Hindia Belanda dilakukan pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff dengan menerbitkan Bataviasche Nouvelles. Surat kabar ini hanya bertahan hidup kurang dari tiga tahun.
Kemudian dengan semakin intensnya jalur-jalur mobilisasi manusia antara Eropa dan Asia, kurang lebih tahun 1854-1860 perkembangan media massa di tanah air, terutama surat kabar menampakkan fase yang penting.
Masih menggunakan bahasa utama Bahasa Belanda sebagai media penulisannya, seorang Belanda bernama HC Klinkert memberanikan diri untuk pertama kalinya mendirikan surat kabar non pemerintah yang dinamakan “Slompret Melajoe” di Semarang.
Fase terbitnya Slompret Melayu kemudian disusul oleh sejumlah surat kabar yang rata-rata masih dikelola oleh orang-orang peranakan Eropa. Perkembangan ini berlangsung hingga tahun 1880, dimana dominasi peranakan Eropa mulai terkikis. Sejumlah pekerja surat kabar, wartawan, redaktur, hingga pemilik perusahaan sedikit-demi sedikit dipegang oleh peranakan Tionghoa.
Dalam kurun waktu 1700-an hingga 1800-an, di nusantara telah terbit 28 surat kabar. Sebanyak 16 surat kabar menggunakan Bahasa Belanda dan 12 surat kabar lainnya menggunakan Bahasa Melayu (Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di Bogor), Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan surat kabar berbahasa Jawa, Bromatani yang terbit di Solo)
Medan Prijaji adalah surat kabar pertama yang terbit dan dikelola oleh orang Indonesia. Surat kabar berbahasa Indonesia dengan bahasan politik ini terbit pada Januari 1907. Pelopornya adalah Raden Mas Tirtoehadisoerjo.
Medan Prijaji menjadi penggerak terbitnya surat kabar lain yang dipelopori tokoh-tokoh perjuangan: Oetoesan Hindia oleh Hadji Oemar Said Cokroaminoto (tokoh Islam); Halilintar dan Nyala oleh Samaun (tokoh kiri), Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak oleh Ki Hajar Dewantara (tokoh nasionalis); Benih Merdeka dan Sinar Merdeka oleh Parada harahap (Wartawan senior yang dijuluki the King of Java Press);Suara Rakyat Indonesia, Sinar Merdeka, dan Sinar Indonesia oleh Soekarno (tokoh demokrat yang menjadi presiden pertama Indonesia), dan masih banyak lagi surat kabar lainnya di nusantara.
2. Fase Kontrol Propaganda Perang
Menyerahnya Pemerintah Kolonial Belanda yang menguasai nusantara kepada Jepang menjadi fase yang harus direkam dengan baik. Bahwa kontrol terhadap media massa, surat kabar yang di zaman Belanda tidak terlalu ketat mulai berubah represif.
Surat kabar yang beredar di Indonesia diambil alih dan disatukan oleh Jepang dengan alasan penghematan dan memperketat pengawasan. Saat Jepang menguasai Indonesia tahun 1942, surat kabar yang terbit di Indonesia hanya satu: Djawa Shimbun.
Tidak tanggung-tanggung surat kabar kemudian menjadi alat propaganda Pemerintah Jepang di tanah jajahannya. Kantor berita Antara diambil alih dan diubah menjadi Kantor Berita Yashima dengan berpusat di Domei, Jepang. Pekerja media orang Indonesia hanya dipakai sebagai pekerja bawahan, sementara para pemimpinnya didatangkan langsung dari Jepang.
Nama Surat Kabar di Era Jepang Wilayah Edar
Tjahaja (1944)
Bandung dan sekitarnya. Surat kabar Tjahaya sudah menggunakan Bahasa Indonesia ejaan lama. Meski diterbitkan di Bandung, namun hampir sebagian besar isi dari surat kabar Tjahaya justru tentang kondisi dan peristiwa yang terjadi di negeri Sakura.
Beberapa surat kabar yang dizinkan terbit oleh Jepang, selain Tjahaja, seperti Asia Raja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Edar di kota-kota besar di wilayah Jajahan Jepang. Operasional surat kabar ini diawasi ketat oleh Jepang.
Kemudian di masa kemerdekaan, sejumlah media muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap surat kabar yang digunakan oleh penguasa sebagai sarana propaganda. Diantaranya, Berita Indonesia (BI), Merdeka, Harian Rakyat , Soeara Indonesia, Pedoman Harian, Soeara Merdeka (Bandung), Demokrasi (Padang), dan Oetoesan Soematra (Padang).
3. Fase Kontrol Orla-Orba dan Berlakunya Surat Izin Cetak
Gejolak politik di tanah air di era kepemimpinan Presiden Soekarno terutama di Parlemen dan Kabinet memaksa sang proklamator untuk menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di balik karut marutnya masalah politik, sayangnya hal itu berimbas kepada perjalanan pers di tanah air dengan dikeluarkannya larangan terhadap kegiatan politik termasuk pers.
Pemerintah mengeluarkan peraturan yang terkait dengan surat kabar. Dimana siapapun yang akan mendirikan penerbitan dan dibaca oleh massa harus mendapat surat izin terbit (SIT) dan surat izin cetak (SIC). Tentu saja dengan pengetatan ini, pertumbuhan media massa terutama surat kabar menjadi terpengaruh.
Kebijakan pemerintah di era Soekarno kemudian “dilanjutkan” dimasa kepemimpinan Soeharto selama kurang lebih 32 tahun menjadi Presiden RI. Pengawasan pemberitaan tidak berada sepenuhnya di tangan Pemred dan Sidang Redaksi, namun justru di meja para kepala daerah, komandan militer, dan polisi saat itu.
Pemberitaan yang merugikan nama baik pemerintah, dan bersifat kritis terhadap kinerja birokrasi nyaris tidak mudah untuk diterbitkan. Publik hanya dijejali berita-berita positif pembangunan yang bersifat seremonial, dan peristiwa yang tidak membuat citra pemerintah buruk di mata pembaca.
Pemberitaan yang dianggap merugikan pemerintah harus dibreidel dan dihukum dengan dilakukan pencabutan SIUP seperti yang terjadi pada Sinar Harapan, Kompas, Tabloid Monitor dan Detik serta majalah Tempo dan Editor.
4. Fase Kebebasan di Era Habibie dan Yunus Yosfiah
Runtuhnya rezim Soeharto yang tidak memberikan peluang pers tumbuh secara sehat dalam menyajikan berita yang kritis, obyektif, dan independen berakhir pada 1998. Presiden Ing BJ Habibie yang menggantikan Soeharto membuat pondasi yang layak untuk diapresiasi oleh insan pers di tanah air serta publik secara luas.
Melalui Menteri Penerangan yang diangkat Habibie saat itu, yakni Letjend Yunus Yosfiah, katup-katup kontrol pers oleh pemerintah mulai dibuka. Tidak ada pembreidelan oleh pemerintah atau pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP). Industri pers pun tumbuh bak jamur di musim hujan dengan bermacam-macam segmen yang dibidik. Namun euphoria media di era ini kemudian dijawab oleh waktu, dan pasar bebas (konsumen).
Perkembangan selanjutnya booming produk jurnalistik di Indonesia yang berisi konten berita hiruk pikuk politik, supranatural, dewasa vulgar, mulai ditinggalkan oleh pasar. Di sini dapat dilihat bahwa ternyata konsumen lah yang menjadi filter atas konten yang diterbitkan oleh media. Pemerintah tidak lagi menjadi kontrol perkembangan surat kabar saat itu.
Sesuai dengan UU No 40 Tahun 1999 yang ditandatangani Presiden BJ Habibie tanggal 23 September 1999 tentang UU Pokok Pers, telah jelas bahwa perusahaan pers sesuai dengan Bab I Ketentuan Umum pasal 2, berbunyi, “ Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.”
Dalam Bab IV di dalam UU Pokok Pers juga tegas disampaikan bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. Khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Sementara itu tentang hak kebebasan pers, Pemerintah juga menjamin terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan, atau pelarangan penyiaran sesuai dengan Pasal 4 ayat 2 Bab II di UU Pokok Pers tersebut.
Selain itu peran pengawasan terhadap pers juga sudah tercantum pada Bab VII. Tentang Peran Serta Masyarakat yang dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
Masyarakat juga dapat memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Caranya dengan menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
Di beberapa media massa, baik cetak, televise, maupun online, para pengelola media memberikan ruang interaksi dengan pembacanya. Kritik dan diskusi atas karya jurnalistik bisa disampaikan langsung oleh publik dengan menghubungi si jurnalis melalui email yang dicantumkan di awal atau akhir berita.
The Straits Times, grup surat kabar di Singapura sudah sejak lama memakai metode ini. Kemudian disusul news anchor televisi, juga koran-koran di tanah air, seperti Media Indonesia, termasuk Harian SatelitPost khusus untuk berita headlines-nya. Belum termasuk ruang interaksi di rubrik SMS, fanpage Facebook, Twitter, sebagai ruang untuk mengawasi kinerja insan pers oleh masyarakat.
Konklusi Diskusi
Pers yang memiliki kemerdekaan mencari dan menyampaikan informasi dijamin dengan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Hak berkomunikasi dan memperoleh informasi juga sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa tentang HAM;
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batasbatas wilayah”. (Piagam PBB Tentang HAM Pasal 19)
Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang. Karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat.
Kontrol masyarakat dimaksud antara lain: oleh setiap orang dengan dijaminnya Hak Jawab dan Hak Koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media (media watch), dan oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk dan cara.
Sedangkan untuk mendorong adanya komunikasi/dialog yang lebih intens antara konsumen media dan pengelola media, maka di beberapa media memiliki lembaga Ombudsman. Lembaga ini diperuntukan untuk ikut mengawasi praktik kerja awak media. Selain itu, lembaga ini untuk mencegah adanya tindakan-tindakan yang tidak baik dilakukan oleh masyarakat dalam merespon sajian media.
Dengan adanya lembaga Ombudsman juga diharapkan ada dialog untuk saling memberikan pemahaman antara konsumen media dan pengelola media. Sehingga jika ada masalah maka bisa diselesaikan secara fair. Dengan begitu diharapkan bisa muncul proses pembelajaran bersama-sama.
———————————————————————ooo—————————————————————-
Referensi
• “Komunikasi Massa Suatu Pengantar”. Bandung: Remaja Rosdakarya. Drs. Elvinaro Ardianto, M.Si dan Dra. Lukiarti Komala Erdinaya, M.Si, 2005.
• “Pers Indonesia dari Zaman Hindia Belanda Sampai Masa Revolusi: ‘Medan Prijaji’, Koran Politik Pribumi” oleh Haryadi Suadi.
• UU No 40 Tahun 1999, http://www.kpi.go.id/download/regulasi/UU%20No.%2040%20Tahun%201999%20tentang%20Pers.pdf (17 Sept 2015)
• Sejarah Surat Kabar Indonesia https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_surat_kabar_Indonesia (17 Sept 2015)