Perluas Jangkauan Penonton, Komunitas Seni Didorong Berkolaborasi Bentuk Platform Digital

Peristiwa286 Dilihat
diskusi "Membangun Platform Kerjasama, Interkoneksi dan Distribusi Film" di Bioskop Misbar Purbalingga, Usman Janatin City Park, Jumat (20/11) malam.
Diskusi bertajuk “Membangun Platform Kerjasama, Interkoneksi dan Distribusi Film” di Bioskop Misbar Purbalingga, Usman Janatin City Park, Jumat (20/11) malam./Foto: Istimewa

Purwokertokita.com, Purbalingga – Komunitas seni budaya di daerah perlu berkolaborasi membentuk ekosistem budaya sebelum membangun platform digital untuk mendistribusikan karya, baik dalam bentuk visual maupun audiovisual. Tujuan besarnya untuk menggerakkan industri kreatif di daerah.

Kepala Pokja Media Baru dan Arsip Direktorat Film, Musik dan Media Baru, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI, Tubagus Sukmana mengungkapkan hal ini pada observasi dan diskusi “Membangun Platform Kerjasama, Interkoneksi dan Distribusi Film” di Bioskop Misbar Purbalingga, Usman Janatin City Park, Jumat (20/11) malam.

Pokja ingin membangun interkoneksi berupa platform kerja sama di bidang musik dan media baru. Hal itu bisa terwujud dengan peran dari seniman, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

“Konten-kontennya akan diisi dari hasil kolaborasi antar-kelompok seni, tidak berjalan sendiri. Purbalingga ini sudah punya Misbar, dan menjadi ruang untuk kolaborasi itu,” kata dia.

Film yang digarap komunitas di daerah perlu memperluas jangkauan penonton. Sebab, tidak semua karya komunitas ini bisa masuk bioskop yang hanya tersedia di kota besar.

Oleh karena itu, platform kerja sama antar-pelaku seni dan kelembagaan ini akan mempermudah distribusi karya. Tubagus mengatakan, pembentukan platform distribusi digital ini harus didahului dengan penyediaan ruang kolaborasi. Ruang kolaborasi bisa melalui peran pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

“Contohnya, CLC Purbalingga yang sudah menunjukkan eksistensinya selama 14 tahun. Komunitas film ini bisa menjadi ruang kolaboratif untuk menopang kelompok seni lainnya,” ujarnya.

Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Purbalingga, Setiyadi menyatakan, Pemkab Purbalingga memberikan perhatian khusus kepada aktivitas pelestarian dan pengembangan kesenian. Satu di antaranya melalui fasilitasi pendanaan maupun kegiatan.

“Pemerintah daerah bukan Sinterklas. Saking banyaknya yang harus disentuh kami punya prioritas, seperti revitalisasi seni yang hampir punah seperti krumpyung, cengklung dan braen serta seni yang berkualitas secara artistiknya,” kata dia.

Setiyadi mengatakan, pada tahun 2020, dana dari APBD untuk bidang kesenian mencapai hampir Rp 6 miliar. Namun, karena pandemi, anggaran terpaksa dipangkas hingga tersisa sepertiganya.

Direktur CLC Purbalingga, Bowo Leksono mengatakan, embrio ruang kolaborasi antar seniman di Purbalingga sebetulnya sudah muncul. Film, saat ini menjadi lokomotif utama dalam industri kreatif ini.

“Kami sudah merasakan, film itu menjadi lokomotif industri kreatif. Kami mulai dari pendokumentasian seni tradisi, beberapa dibuat fiksi. Jadi database, kalau orang yang ingin tahu tentang seni itu yang bisa bertanya kepada kami,” ujarnya.

CLC Purbalingga, kata dia, memiliki enam program rutin yang dijalankan setiap tahun. Mulai dari produksi film, workshop, pemutaran, perpustakaan film, distribusi dan festival film. Namun, komunitas ini masih kesulitan dalam hal regenerasi.(rad)

Tinggalkan Balasan