Purwokertokita.com -Delapan desa rawan bencana longsor akan dipasangi alat Early Warning System bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Saat ini ke delapan desa tersebut tengah dilakukan survey oleh konsultan yang akan memasang alat tersebut. Dimana dua anggota konsultannya merupakan ahli penanganan bencana longsor yang berasal dari Jepang. Demikian disampaikan oleh Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Catur Subandrio, S. Sos, Jumat (27/11) di kantornya.
“Titik untuk pemasangan EWS untuk masing-masing desa tengah dicari dimana terdapat sinyal paling kuat sekaligus mendukung efektifitas penggunaan alatnya. Alat ini dikendalikan via satelit dan operasionalnya seperti halnya pengoperasian SMS” katanya.
Ke delapan desa penerima EWS baru ini yaitu desa Kaliajir-Purwonegoro, desa Beji- Pandarum, desa Kalibombong-Kalibening, desa Giritirta-Pejawaran, Desa Karekan-Pagentan, desa Slatri-Karangkobar, desa Gumingsir-Pagentan, dan desa Bantar-Wanayasa.
“Harapan saya, alat ini bisa berfungsi maksimal untuk memantau pergerakan tanah di delapan desa dimaksud. Sehingga pergerakan tanah bisa dipantau sejak dini dengan baik. Dampaknya adalah dapat mengurangi resiko terjadinya korban jiwa. Karena alat ini sangat membantu, rawat baik-baik alatnya” katanya.
Sebelumnya, pada saat kunjungannya ke desa Kaliajir, Wakil Bupati Drs. Hadi Supeno, M. Si., mendorong Kades Kaliajir beserta perangkat desa dan masyarakatnya untuk memanfaatkan kentongan sebagai alat peringatan ataupun komunikasi antar warga jika diketahui ada tanda-tanda bahaya akan datangnya bencana longsor. Alasannya bahan dasar kentongan yaitu pohon bambu sangat mudah diperoleh di pedesaan dan murah.
“Kentongan, juga ringan, mudah dibawa, mudah dibunyikan oleh siapa saja, dan tidak tergantung listrik. Sehingga ketika listrik mati sekalipun yang biasanya terjadi saat bencana, komunikasi masih bisa dilakukan antar warga” katanya.
Selain itu, lanjutnya, secara tradisi masyarakat juga sangat familiar dengan kentongan, baik alatnya maupun kegunaanya.
“Sebelum masuknya pengeras suara seperti yang terpasang di masjid-masjid serta masuknya teknologi komunikasi lewat Handphone, masyarakat telah terbiasa menggunakan kentongan sebagai komunikasi jika terjadi sejumlah kejadian seperti kematian, pembunuhan, pencurian, dan seterusnya. Masing-masing kejadian ditandai dengan nada kentongan dan jumlah pukulannya” katanya.
Sekarang ini, lanjutnya, kita tengah masuk musim hujan dengan itensitas curahnya hujannya cukup deras. Menurut informasi dari BMKG, sambungnya, curah hujan sampai bulan Februari intensitasnya menengah tinggi. Karena itu, lanjutnya, saya berharap Kades, Perangkat, dan Orang Dewasa, Laki-laki, dan semua warga Kaliajir untuk senantiasa waspada jika hujan deras turun.
“Bagi warga yang rumahnya retak-retak cukup parah. Jika hujan deras untuk sementara penghuni rumah ngalahi dulu untuk mengungsi ke rumah kerabat atau tetangga yang rumahnya aman dari bahaya retakan” katanya.
Kades Kaliajir Arifin menambahkan selama ini untuk komunikasi bencana antar warga dirinya mengandalkan operasionalnya lewat Handphone yang terkoneksi dengan semua perangkat desa. Alasanya handphone mudah penggunannya karena semua perangkat Kaliajir dan hampir semua rumah di Kaliajir mempunyai handpone sehingga relatif lebih cepat dan mudah dihubungi.
Meski demikian dirinya mengakui tidak ada jaminan saat kondisi darurat semua handphone bisa terkoneksi dengan baik. Bisa jadi hp sedang dicharge ataupun hp habis setrum.
“Karena itu, kita siap untuk mengembangkan kentongan sebagai alternatif komunikasi antar warga untuk menginformasikan ancaman bencana longsor” katanya.
Humas Banjarnegara