Purwokertokita.com, Purbalingga – Eva Tiana (14) dan kedua kakaknya, Sumiarti (27) dan Keriani (26), bergegas mandi pagi pada Senin (24/8). Pagi itu mereka harus berangkat dari rumahnya di Dusun Bawahan, Desa Gunung Wuled, Rembang, Purbalingga Jawa tengah ke Rumah Sakit Umum Daerah Goeteng Taroenadibrata Purbalingga. Ia sengaja berangkat pagi karena rumahnya cukup jauh dari RSUD sehingga nantinya ia tak menjumpai antrean panjang di laboratorium rumah sakit. Di rumah sakit, Eva dan dua kakaknya menjalani transfusi darah, rutinitas bulanan sejak mereka divonis mengidap thalassemia, kelainan genetik yang memengaruhi produksi sel darah merah. Kelainan genetik ini diturunkan dari orang tua, dan tetap dapat diturunkan walaupun orang tua tidak mengalami gejala.
Thalassemia pada tiga bersaudara ini diketahui di usia yang berbeda-beda. Eva terdeteksi saat berusia enam tahun, lebih dini dibanding Keriani yang baru diketahui pada usia 14 tahun atau Sumiarti pada usia 12,5 tahun.
Pada saat itu mereka menunjukkan gejala yang sama ketika efek thalassemia muncul. Mereka merasakan sekujur tubuhnya lemas, tidak bertenaga. Wajah mereka pun pucat.
“Sempat ke puskesmas, tapi karena tak sanggup jadi dirujuk ke rumah sakit. Di rumah sakit dicek, hasilnya kena thalassemia,” kata Giser Roseni (47), ibu kandung tiga gadis ini.
Mereka bergelut melawan thalassemia selama bertahun-tahun. Selama itu pula mereka menjalani transfusi darah. Hidup mereka amat bergantung pada pendonor darah.
Namun, tak selamanya stok darah di PMI stabil. Di masa pandemi COVID-19 ini jumlah pendonor menurun. Stok darah di PMI pun menurun hingga 70 persen.
Penurunan stok darah sempat membuat Giser cemas. Terlebih golongan darah ketiga putrinya AB, golongan darah paling sedikit di masyarakat.
Namun kebijakan rumah sakit yang memprioritaskan penyandang thalassemia membuat Giser lega. Tiga putrinya bisa menerima transfusi.
“Pas gencar-gencarnya pandemi memang stok darah menipis karena memang PMI membatasi kotak dengan pendonor, namun untuk sekarang sudah mulai normal, ” kata Direktur RSUD Goeteng, dr Nonot Mulyono.
Untuk menjaga agar stok darah bagi para thaler (sebutan untuk penyandang thalassemia) selalu tercukupi selama pandemi, POPTI Purbalingga bekerja sama dengan PMI Kabupaten Purbalingga. Dari data POPTI (Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassemia Indonesia) Purbalingga, di Kabupaten Purbalingga terdapat 83 thaler, untuk yang aktif transfusi di RSUD Purbalingga sebanyak 63 orang, yang terdiri dari 37 perempuan dan 26 laki-laki, untuk sisanya transfusi di RSUD Banyumas.
“Pas awal-awal pandemi stok darah memang sempat sangat menipis, sampai kita gerilya jemput bola bersama relawan untuk mendonorkan darahnya, dan keluarga pasien juga wajib mencari pendonor pengganti,” terang Sugio (38), Bendahara POPTI Purbalingga yang juga seorang thaler.
Selain menyebabkan stok darah di PMI menurun, pandemi Covid-19 juga mengakibatkan ambulan Badan Amal Zakat Nasional (Baznas) berhenti beroprasi. Padahal ambulan Baznas yang biasa membantu transportasi pasien thalassemia kurang mampu.
“Biasanya diantar jemput mobil Baznas, namun sejak pandemi ambulannya berhenti, tapi Alhmudulillah sekarang ada orang yang membantu transportasi kalo saatnya transfusi,“ ungkap Giser Roseni yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dan petani pakis ini.
Itu dibenarkan oleh pengurus POPTI yang selalu mendampingi para pasien thalassemia. “Selama pandemi untuk ambulan dari Baznas terhenti kalau untuk sekarang sudah mulai berjalan kembali namun jam terbangnya dikurangi,” imbuh Sugio (38).
Penyintas Thalassemia Mengalami Diskriminasi
Sumiarti dan Keriani setiap hari hanya mampu bekerja dari rumah membuat plasma bulu mata palsu. Sedangkan Eva masih sekolah. Sumiarti telah menjalani transfusi sejak 14.5 tahun yang lalu ketika usianya 12,5 tahun. Sementara Keriani mengetahui thalassemianya pada usia 14 tahun.
Thalassemia nyaris merenggut segalanya dari Sumiarti. Pada usianya yang ke-27, tinggi badannya hanya setinggi Eva yang baru 14 tahun. Thalassemia menghambat pertumbuhan tubuhnya.
Ia juga tidak dapat menamatkan pendidikan hingga SMP. Selain karena keterbatasan biaya, Sumiarti kesulitan mengikuti belajar karena harus wara-wiri ke rumah sakit untuk menjalani transfusi darah.
Belum lagi diskriminasi yang ia alami teman sebayanya. Teman-teman sumiarti mengira penyakit ini menular. Padahal sebagaimana penyakit genetis lain, thalassemia tidak menular.
“Dulu saya dijauhi teman-teman, mereka takut akan tertular dengan penyakit saya, pernah juga ada yang bilang saya sedang hamil padahal perut saya membuncit karena limpa saya yang bengkak bukan karena hamil,” ungkap sumiarti.
Sugio juga menerima diskriminasi yang sama saat masih duduk di bangku SD dan SMP. Sugio sendiri sudah aktif transfusi darah sejak usianya tiga tahun.
“Saat SMP dan SD ada oknum yang bilang bahwa saya ngga punya darah, pucat, kaya mayat hidup, dipotong kayanya ngga ada darah yang keluar. Perundungan yang paling menyakitkan adalah saat olahraga atau saat upacara bendera, mereka mengatakan saya itu vampir, jadi ga boleh panasan nanti mati atau meleleh atau bilang sekarang vampir ga takut matahari ya?, ” kenang Sugio.
Meski tidak menular, penyakit ini berisiko diturunkan ke anak cucu. Risiko semakin besar jika seorang penyintas ataupun pembawa sifat menikah dengan sesama pengidap thalassemia.
Minimnya literasi ihwal thalassemia menimbulkan stigma. Stigma ini yang menyulitkan kehidupan asmara Sumiarti. Di desa, gadis seusia Sumiarti biasanya telah menikah. Beberapa bahkan memiliki dua atau tiga orang anak. Namun itu bukan hal yang sederhana bagi penyintas thalassemia.
Menikah dengan penyandang thalassemia berisiko melahirkan keturunan yang juga mengidap thalassemia. Orang-orang akan berpikir ulang jika hendak menjalin hubungan dengan para penyintas thalassemia. Kalaupun ada yang bersedia menikah dengan penyintas thalassemia, hubungan mereka biasanya kandas karena tak direstui orangtua.
Dalam kasus Sumiarti, thalassemia tak sekadar mengikis kemampuan pertumbuhan badannya, namun juga merongrong kepercayaan dirinya. Thalassemia yang diidap Sumiarti bertahun-tahun membuat pertumbuhan tubuhnya terhambat. Penyakit ini juga memunculkan gejala ciri wajah yang khas yang jadi penanda pengidap thalassemia.
Hal ini membuat Sumiarti tidak cukup percaya diri untuk berbaur dengan kawan sebayanya. Ia cenderung menutup diri dari pergaulan. Ini pula yang membuatnya tak sekalipun menjalin hubungan asmara.
Anggapan bahwa perempuan harus menikah muda yang kadung mengakar di masyarakat perdesaan ini menjadi beban psikologis bagi Sumiarti. Dampaknya, ia menarik diri dari interaksi sosial. Ia terasing dari komunitas di desa yang kental karakter komunalnya.
Nasib yang sama juga menimpa adiknya, Keriani, dan mungkin juga Eva yang mulai beranjak remaja.
Sugio, pengurus Perhimpunan Orangtua Pengidap Thallasemia Indonesia (POPTI) Purbalingga mengatakan apa yang dialami Sumiarti juga dialami penyintas thalassemia yang lain. Menurutnya, hal ini terjadi karena edukasi dan sosialisasi tentang thalassemia masih minim.
“Thalassemia itu penyakit genetik, tidak menular dan bisa dicegah. Tapi identiknya thalassemia itu menular. Itulah yang bikin orang menjauhi, hubungan asmara dipersuit. Biasanya faktor itu sih, kurangnya edukasi,” kata Sugio.
Untuk meredam stigma, POPTI melakukan pendekatan persuasif terhadap pelajar SMP. Mereka diajak mengenal thalassemia dan upaya pencegahan menurunkan keturunan dengan thalassemia.
Thalassemia bisa dicegah dengan tidak menikahi sesama penyandang thalassemia ataupun pembawa sifat atau carrier. Namun jika sudah terlanjur menjalin hubungan, pasangan thalassemia bisa bersama-sama merencanakan untuk tidak memiliki keturunan. Sebagai alternatif, pasangan thalassemia bisa mengadopsi anak.
Upaya lain ialah dengan metode kebudayaan. POPTI bekerja sama dengan sejumlah pihak membuat film pendek tentang kehidupan penyandang thalassemia berjudul “Wewaler” yang berarti pantangan.
Film yang disutradarai Eko Junianto ini bercerita tentang kisah Sugio yang juga penyintas thalassemia. Karena thalassemianya, tokoh utama bernama Gio yang ia perankan sendiri gagal menikahi kekasihnya. Karena thalassemia juga, ia kerap dikeluarkan dari pekerjaannya.
Namun di tengah perlakuan diskriminatif itu, Gio tak menyerah. Gio menunjukkan tekatnya dengan melamar kekasihnya meski akhirnya ditolak.
Gio yang sering dipecat karena kerap izin untuk transfusi darah. Itu justru yang mendorongnya mendirikan bengkel sendiri. Dengan sikap yang pantang menyerah itu, ia berharap penyintas thalassemia lain juga memandang hidup dengan optimistis. Hidup akan baik-baik saja jika mampu menjaga harapan.
“Kita ingin hidup normal, kita ingin sejajar dengan orang. Tidak didiskriminasi, tidak dipandang sebelah mata,” tutur dia. (Ina Farida)