Bersihkan jiwa kami hingga kembali menyala kembali. Nyalakan kembali welas asih di hati kami. Karena kami ingin sepertiMu, untuk menjadi terang dan sangat terang, untuk menebar kebaikanMu Gusti.
PURWOKERTOKITA.COM, PURBALINGGA – Penggalan narasi itu mengalun di tengah pertunjukkan para seniman muda Kie Art Purbalingga di Padma Resort Legian, Bali, akhir Oktober lalu. Di tengah temaram cahaya lentera yang dibawa seorang gadis muda, narasi itu seakan mengajak tamu yang hadir untuk merenungkan gerak kehidupan di tengah kecamuk pandemik dan kembali kepada kebesaran Ilahi.
Pertunjukkan dengan konsept “Eling” (ingat) memperkenalkan tarian ujungan, budaya Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga yang mati suri selama 111 tahun.
Tarian itu dikonversikan dengan keadaan saat ini. Ujungan bukan lagi sebagai olahraga ketangkasan tradisional untuk merebut suatu daerah, tetapi untuk menghadapi keangkaramurkaan, rasa iri, dan dengki yang seakan memuncak hingga datangnya pagebluk.
Kie Art menyuguhkan tema Eling agar semua ingat kepada kebesaran yang Maha Kuasa. Eling untuk saling mengasihi sesama agar masyarakat bisa lekas bangkit dari pandemik.
Pertunjukkan ini diawali dengan tarian tunggal seorang wanita jawa sebagai simbol dari ibu pertiwi yang sedang menangis dan berduka. Tarian gubahan putra daerah Purbalingga Desi Indah Fitria ini mendapat iringan sulukan (tembang) Jawa dari seorang tetua desa. Tembang itu merupakan hasil gubahan pemuda desa, Lintang Kencoro, mahasiswa ISI Surakata yang mengajarkan karawitan kepada seluruh pemuda desa.
Cahaya remang dari lentera dan pembakaran arang sebagai ritual pembukaan membuat suasana semakin khidmat. Penonton makin terhanyut dengan alunan karawitan pemuda Desa Sidaerja.
Sesaat kemudian lagu Eling-eling dimainkan. Muncullah para perupa muda Kie Kartun dengan gerakan yang tak beraturan. Merekapun mulai menggoreskan kuas raksasa di atas kanvas. Chune, pelukis senior Purbalingga dengan gaya khasnya memberikan sentuhan akhir dengan tinta emas dan merah yang mengingatkan manusia agar kembali kepada cahaya yang berada dalam dirinya.
Pertunjukkan dilanjutkan tarian penunggang kuda lumping atau dalam istilah di Purbalingga disebut ebeg. Ebeg yang dimainkan pegiat Kie Art muncul sebagai cirikhas Banyumasan yang adiluhung.
Ebeg merupakan perlambang kebudayaan masyarakat “panginyongan”. Ebeg menyimbolkan spirit kuda yang gagah berani, kuat, tangguh, dan bermartabat.
Pertunjukkan diakhiri flash mob Ujungan. Para penari mengajak seluruh hadirin melakukan gerakan tarian Ujungan. Tamu yang hadir tampak menyambut hangat ajakan itu. Jadilah tarian kolosal yang kental suasana kebersamaan.
“Sembari mempersiapkan dibukanya Desa Wisata Cartoon Village Sidareja, para pemuda seni mendapatkan kesempatan untuk melakukan pertunjukkan perdananya di Pulau Dewata,” kata pegiat Kie Art, Gita Yohanna Thomdean.
Pertunjukkan dalam rangka Gathering Dua Collective ini terselenggara atas peran serta dari Robby Permana Mannas, pemilik dan CEO DUA Lighting Collective. Pada acara itu hadiri 100 pebisnis dari seluruh daerah di Indonesia.
“Beberapa orang berstatement untuk merencanakan keliling Nusantara karena yang didepan mata banyak sekali budaya yang indah dan perlu diapresiasi,” kata Robby Permana.