Purwokertokita.com, Purbalingga – Di puncak Krisan, harapan itu disemai. Di hamparan bukit gundul, tempat di mana jejak-jejak keserakahan manusia terserak, seribu benih kopi ditanam. Dari benih inilah, seribu narasi tentang kopi kelak akan tersaji. Narasi tentang periuk nasi para petani hingga misi konservasi hutan lindung yang kadung dihabisi.
Kamis (1/10/2020) adalah hari kopi sedunia. Ada yang merayakannya di kedai-kedai kopi, ada yang memilih napak tilas ke perkebunan kopi, ada pula yang menanam bibit kopi seperti yang dilakukan Perusahaan Daerah Puspahastama, badan usaha pemerintah daerah yang fokus menyerap gabah petani.
Puspahastama belakangan melirik komoditi kopi setelah respons pasar terhadap kopi lokal menunjukkan antusiasme luar biasa. Satu di antara sentra penghasil kopi unggul di Purbalingga adalah Gunung Malang, Desa Serang Kecamatan Karangreja.
Puspahastama memulai langkah awal dengan menanam 2 ribu bibit kopi dan memberi pelatihan untuk para petani. Sebanyak seribu bibit di antaranya ditanam di petak 19 tepat di atas Bukit Krisan.
Perkebunan kopi Gunung Malang yang terhampar di atas hutan lindung Perum Perhutani ini berada di ketinggian 1.500 Mdpl. Gunung Malang menghasilkan kopi arabika yang terbilang unggul di jagat perkopian Purbalingga.
Kualitas rasa kopi Gunung Malang juga dikenal luas ke berbagai kota. Setiap bulan, kelompok tani Gunung Malang mengirim dua kwintal olahan hasil panen mereka ke Ibu Kota. Arabika Gunung Malang juga telah merambah Kota Gudeg, Yogyakarta.
Namun cerita kopi Gunung Malang bukan sekadar cerita tentang kenikmatan kopi, namun juga misi konservasi lahan kritis Perhutani. Kopi di sini merupakan kompromi dua kepentingan besar antara hajat hidup petani dengan kelestarian lingkungan.
Semua bermula pada tahun 1999. Ketika itu kayu-kayu Perhutani di petak 18 ditebang. Untuk memulihkan kondisi hutan, pemerintah menggencarkan program reboisasi.
Program reboisasi melibatkan masyarakat sekitar hutan. Warga diperkenankan memanfaatkan lahan di bawah tegakkan selama tiga tahunditambah dua tahun untuk penjarangan. Sejak saat itu, warga menanam aneka sayuran.
Pada 2003, ada program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Warga diperbolehkan menggarap lahan Perhutani tanpa batas waktu. Syaratnya tidak merusak tegakkan.
“PHBM di bawahnya ada LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan), yang bekerja sama dengan Perhutani untuk mengelola lahan di bawah tegakkan,” kata Suyatno Karsum, Ketua Kelompok Tani Gunung Malang.
Tahun 2007 para petani mulai menanam kopi. LMDH bahkan mengajak parapetani untuk belajar langsung ke petani kopi di Pengalengan, Jawa Barat.
“Cuma waktu itu terhalang ganti pemimpin LMDH ganti kebijakan, itu pohon kopi sempat dibuangi. Kesepakatan petani dan LMDH, kopi dinilai tidak menguntungkan. Diganti sayuran sama dilem, tumbuhan herbal untuk jamu,” ujar dia.
Petani terus menanam sayuran hingga hari ini. Sebagai konsekuensinya, lahan berubah kritis. Ketiadaan pohon keras membuat lahan diperbukitan rentan erosi bahkan longsor.
Akar tanaman keras yang berfungsi menahan air hujan juga tidak ada. Akibatnya, sumber mata air semakin minim. Krisis air terjadi ketika musim kemarau.
Bagi petani, ketiadaan ekosistem hutan juga memengaruhi pertanian sayuran. Sayuran kerap diserang hama ulat karena ketiadaan hewan predator seperti burung. Merekapun kerap mengalami gagal panen.
Burung pemakan ulat semakin terdesak karena kehilangan habitat alami mereka, yaitu hutan. Perlahan kesadaran para petani akan kelestarian lingkungan tumbuh.
“2008 kita mulai berpikir lingkungan ternyata berpengaruh terhadap kehidupan kita,” ucapnya.
Anak muda yang tergabung dalam pecinta alam Gunung Malang Gumapala kemudian menginisiasi penanaman pohon yang tetap memberi nilai ekonomi untuk petani, namun juga memiliki fungsi konservasi.
Mereka memulai dari petak 58 di Wadas Gantung yang dalam kondisi gundul. Gumapala rela bersitegang dengan oknum pejabat pemerintah daerah tetangga yang hendak menanam sayuran di petak 58.
Kegigihan para pemuda berhasil mencegah ladang sayuran baru. Mereka kemudian menanami petak 58 dengan tanaman kopi.
Kopi lebih bernilai konservasi karena bukan tanaman satu musim yang langsung habis setelah masa panen seperti sayuran. Di sisi lain, kopi memiliki nilai ekonomi yang bisa menggantikan komoditi sayuran.
“Ada program setiap Jumat kami menanam, kemudian terdengar pecinta alam dan pegiat lingkungan. Mereka mulai membantu bibit dan membantu menanam tanaman keras,” paparnya.
Tahun 2013 petani Gunung Malang mulai mengembangkan lahan. Mereka merambah petak 19 dan 18 yang memang butuh perhatian. Mereka mulai menyemai bibit kopi secara mandiri.
Bibit itu dibagikan ke petani secara gratis. Namun jika ada yang menanam banyak dan punya uang, maka dia hanya diminta untuk mengganti biaya polybag.
“Lambat laun karena kesibukan padat dengan hasil panen, akhirnya itu mandeg, tidak fokus ke pembibitan. Kami fokus untuk kebaikan bersama, Perhutani diuntungkan denga hutan hijau kembali, petani juga diuntungkan dengan hasil panennya,” tutur Karsum.
Menurut perhitungan Karsum, antara budidaya sayur dan kopi memiliki hasil yang hampir setara. Bahkan untuk kopi lebih menguntungkan karena ongkos produksi jauh lebih efisien. Ditambah lagi, kopi lebih bernilai korservasi dibanding sayuran.
“Cuma kadang teman petani itu yang belum menyadari hal itu, kesannya kopi kan tahunan, beda dengan kita tanam slobor, tanam kobis yang sebulan dua bulan bisa panen,” katanya.
Keuntungan dari bertani kopi perlahan digemari petani lain. Ini tampak dari jumlah petani kopi yang semula 15 orang sekarang 57 orang. Mereka mengelola lahan seluas 53 Ha.
Dari data Perhutani, ada sekitar 250 Ha lahan hutan lindung yang berbatasan langsung dengan permukiman yang harus dipulihkan. Sementara total lahan kritis Perhutani yang masuk wilayah Purbalingga ada seluas 4 ribu hektare.
Karena itu, Perhutani sangat mendukung setiap upaya pemulihan lahan kritis. Satu di antaranya peralihan dari tanaman sayuran ke kopi.
“Tanaman agro yang toleran dengan kehutanan adalah kopi,” kata Tuswanto, Subseksi Kelola Sosial Perhutani yang bertugas menyelaraskan hubungan antara perhutani dengan warga dan instansi terkait.
Ia menjelaskan, dari segi konservasi kopi termasuk tanaman strata bawah dalam ekosistem hutan lindung. Hutan lindung memiliki tiga strata, strata atas tanaman kehutanan, strata menengah, dan strata bawah.
“Kami sedang berupaya strata bawah yang tadinya sayur diganti dengan tanaman kopi secara bertahap,” ujarnya.
Namun dalam beberapa tahun belakang ia melihat mulai ada perubahan perilaku. Para petani mulai beralih ke kopi. Ia berharap bisa menerapkan pola agroforestik, memadukan tanaman perhutanan dengan tanaman agro atau pertanian.
Jalanlain yang ditempuh perhutani dengan membentuk LMDH yang membawahi Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Lembaga itu bersama Perhutani menentukan aktivitas perekonomian yang ramah lingkungan.
“Misalnya di satu desa ada potensi wisata, maka itu yang dikedepankan,” kata dia.
Perhutani juga berupaya menyepahamkan masyarakat untuk memulihkan ekosistem hutan lindung dalam waktu 10 tahun. Ia optimistis hutan lindung bisa pulih dengan dukungan warga. Kepulihan hutan lindung bermakna besar bagi kehidupan masyarakat, baik sebagai sumber kehidupan maupun mencegah bencana alam. (Afgani)